AS
SUNNAH SEBAGAI SUMBER HOKUM SEKUNDER
A.AT TA’RIF(PENGERTIAN)
As-sunnah
secara etimologi berarti kebiasaan, baik ber nilai positif atau negatif.
Sebagai mana sabda Nabi;
من
سن سنة حسنة فله أجرها وأجرمن عمل بها , و من سن سنة سيئة فعليه وزرها و وزرمن عمل
بها إلى يوم القيا مة
“Barangsiapa
yang berjalan di jalan kebaikan, maka ia akan mendapat pahala dan pahalanya
orang yang melakukan perjalanan baik itu hingga hari kiamat. Dan
barangsiapa yang berjalan dijalan keburukan, maka ia akan mendapat dosa
dan dosanya orang yang melakukan perjalanan buruk itu hingga hari kiamat “.
Imam Al kasa’iy berkomentar bahwa as-sunnah secara
lughowiyyah berma’na ad dawam(selamanya, terus menerus).[1]
سننت
الما ً إذا واليت في
صبه
Sedang dalam al qur’an sendiri telah
menyinggungnya bahwa as sunnah diartikan sebagai kebiasaan umat atau nabi –nabi
terdahulu dan ketetapan Allah yang tidak mungkin mengalami perubahan.[2]
Allah berfirman;
قل
للذ ين كفروا إن ينتهوا يغفر لهم ما قد سلف وإن يعودوا فقد مضت سنة الأولين[3]
سنة
الله في الذين خلوا من قبل ولن تجد لسنة الله تبديلا[4]
Sedangkan secara terminologis, menurut ushuliyyin sunnah di
definisikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi berupa dalil
selain al-Qur’an, baik berupa ucapan, tindakan, ketetapannya, dan hammiyyahnya.
Dalam pengertian as-sunnah secara terminologisnya ini, penulis hanya
menampilkan dari kalangan ushuliyyin saja, mengingat adanya tolak belakang
dengan apa yang di maksudkan dengan kajian tentang ilmu ushul fiqih ini.
B.KLASIFIKASI AS SUNNAH
Ditinjau
dari segi maddah(bahan) atau urgensinya as sunnah terbagi menjadi 4 macam
ya’ni,Qouliyyah, Fi’liyyah, Taqririyyah, dan Hammiyyah.
1.Sunnah Qauliyah (Sunnah yang
bangsa ucapan), yaitu Hadits-Hadits atau berita-berita yang diucapkan
Rasulullah SAW dalam berbagai topik, tujuan dan dalam keadaan yang berlainan,
seperti sabda Nabi:إنماالأعمال بالنيات ... (Semua perbuatan tergantung pada
niatnya)
2.Sunnah Fi’liyah (Sunnah yang
bangsa perbuatan Rasulullah SAW), seperti perbuatan Rasulullah dalam melaksanakan
shalat lima waktu, ibadah haji, zakat dan ibadah-ibdah lainnya dalam segala
bentuk dan rukunnya.
3.Sunnah Taqririyah (ketetapan /
pengakuan Rasulullah SAW terhadap segala ucapan atau perbuatan para
sahabatnya), seperti Hadits tentang Mu’adz bin Jabal yang diutus Rasulullah SAW
ke negeri Yaman. Rasulullah SAW bertanya: ”Dengan apa kamu akan memutuskan
suatu perkara (terhadap kaum di negeri Yaman) ? ”. Mu’adz menjawab:
Dengan Kitabullah (Al Qur’an), jika saya tidak mendapatkan, dengan Sunnah Rasul,
jika tidak mendapatkan juga, maka berijtihad sesuai dengan pendapatku”.
Rasulullah SAW menyetujui pendapat Mu’adz bin Jabal ini dengan sabdanya : ”
Segala puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq kepada utusan-Nya sesuai
dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya Ridlo’i”. Kemudian Hadits ini yang menjadi
dasar kuat, bahwa Assunnah atau Al Hadits dapat menjadi sumber hukum Islam
otentik ke dua setelah Al Qur’an dengan segala fungsi dan kedudukannya.
3.Sunnah Hammiyah, yaitu keinginan
Nabi Muhammad SAW untuk melakukan suatu hal, seperti keinginan untuk berpuasa
pada tanggal 9 Muharrom.
Ditinjau dari
kuantitas periwayatannya, as sunnah menurut hanafiyyin terbagi menjadi 3
macam, yaitu sunnah mutawattiroh, masyhuroh(mustafidhah), dan sunnah ahad.
Sedangkan mayoritas ‘ulama’ ‘ushuliyyin membagi menjadi 2 macam, yaitu
sunnah mutawattiroh dan sunnah ahad.
Ditinjau dari
segi kualitas hadisnya, as-sunnah terbagi menjadi 3 macam, ya’ni berupa shohih,
hasan, dan dho’if. Ditinjau dari segi redaksinya, terbagi menjadi 2 jenis,
yaitu hadis qudsy dan hadis nabawy[5]. Ditinjau dari sumbernya, terbagi menjadi 3 macam,
ya’ni hadis marfu’(khabar), mauquf(atsar), dan maqthu’. Ditinjau dari segi
diterima dan tidaknya, berupa hadis maqbul dan mardud.
Dalam
kajian pembahasan tentang klasifikasi dan pembagian macam macam as-sunnah ini,
penulis tidak mengungkapkan secara mendetail dan spesifik, namun hanya secara
garis besarnya saja, untuk lebih lanjutnya lihat ilmu mustholah al-hadis, yang
memang ilmu tersebut mencakup ruang lingkup pembahasan tersebut.
C.KEHUJJAHAN AS SUNNAH
1.Dasar al-Qur’an
Allah berfirman;
"Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah dan Rasul".(QS.An-Nisa:59)
Mengembalikan
kepada Allah, menurut Imam Saukani, adalah mengembalikan kepada Al-Quran,
sedangan mengembalikan kepada Rasul adalah mengembalikan kepada Sunah Rasul.
Imam Syafii berkata:" bahwa Allah mewajibkan kita untuk taat
kepada Rasul, dan selama ketaatan kepada Rasul adalah wajib, maka perkataan
beliau menjadi mengikat bagi kita. Dan setiap orang yang bersebrangan
dengan Rasul, maka orang tersebut dinilai sebagi orang yang durhaka, dan Allah
telah mengancam orang yang durhaka kepada Rasul-Nya. Maka dari sini
dapat disimpulkan, bahwa Sunah Rasul adalah hujah yang harus kita pegang".
2.Dasar as-sunnah
Berdasarkan hadis mu’adz bin jabal as-sunnah atau Al Hadits
dapat menjadi stmber hukum Islam otentik ke dua setelah Al Qur’an dengan segala
fungsi dan kedudukannya.
Nabi Muhammad
saw. ketika khutbah wada' (haji perpisahan) bersabda:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا إن تمسكتم
بهما كتا ب الله و سنتي[6]
''Aku tinggalkan untukmu dua perkara,
seandainya kau berpegang teguh dengan keduanya maka kamu semua tidak akan
tersesat selamanya , yaitu Kitabullah dan Sunah Nabi-Nya". (HR. Malik Bin
Anas)
Hadis Nabi
saw:
"ingatlah
sesungguhnya aku telah diberi Al-Quran dan yang menyrupainya bersamanya,
hati-hatilah, hampir saja lelaki yang kekenyangan di atas permadaninya
berakata: Atas kamu Al-Quran ini(saja), maka apa yang kau dapati di dalamnya
halal maka halalkanlah, dan apa yang kau dapati haram maka haramkanlah.
Ingatlah, sesungguhnya apa yang diharamkan Rasul sama denga apa yang diharamkan
oleh Allah".(HR.At-Tirmidzi dan Abu Dawud)
Imam Khutobiy berkomentar tentang hadis ini, bahwa
yang dimaksud sesuatu yang menyerupai Al-Quran adalah As-Sunah, dan Rasulullah
mengingatkan kita untuk berhati-hati agar tidak menentang hukum yang ada di
dalam Sunah akan tetapi tidak ada di dalam Al-Quran, karena keduanya
sama-sama wahyu dari Allah. Lelaki kekenyangan di atas permadani adalah simbol
orang bodoh akibat terbisa kekenyangan atau disibukan dengan hidup berlebihan
dan tidak mau keluar menuntut ilmu karena selalu sibuk diatas permadaninya,
sehingga berkata: hukum hanya ada di Al-Kitab, dan meninggalkan As-Sunah. Imam
Khutobiy mengambil contoh sekte Khowarij dan Rofidoh sebagai ahli bid'ah yang beramal
hanya dengan Al-Quran dan meninggalkan As-Sunah.
Mengingat sangat pentingnya As-Sunah, Rasulullah
memerintahkan agar berpegang teguh dengan As-Sunah, dengan perumpamaan
menggigitnya dengan gigi geraham dan orang yang menolaknya adalah menolak masuk
surga:
"Ambilah Sunahku dan Sunah Khulafaurrosidiin yang
selalu mendapat hidayah setelahku, berpeganglah dengannya dan gigitalah
dengan gigi geraham".(HR.Abu Dawud)
3.dasar keimanan
Dasar keimanan
ini sebagai konsekuensi pengakuan umat islam terhadap Nabi Muhammad saw sebagai
Nabi dan Rosulullah dalam setiap mereka menjalankan aqidah, syari’ah, dan
akhlak, yang mengharuskan mengikuti segala petunjuknya baik itu redaksinya
langsung dari Allah ataupun yang disusun sendiri olehnya[7]. Hal ini sudah dijelaskan
dalam firmanNya;
وما ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى[8]
Dalam ayat
tersebut bisa di ambil kesimpulan bahwa as-sunnah/hadis juga termasuk dalam
bagian dari wahyu, mengingat adanya kaidah ushul “al ‘ibroh bi ‘umumi
al-lafdzi la bi khususi as-sabab”(ungkapan itu menurut umumnya lafal bukan
pada umumnya sabab)[9].
4.Dasar ijma’ shahaby
Para shahabat
sepakat bahwa umat islam wajib mengikuti as-sunnah, baik pada sat Nabi masih
hidup ataupun sudah wafat. Para shahabat mematuhi segala perintahnya dan
menjauhi segala laranganya baik itu hokum yang di tetapkan oleh wahyu ataupun
yang ia tetapkan sendiri.[10]
5.Dasar hokum nash al-Qur’an yang
mujmal yang perlu penjelas s-sunnah
Hokum nash
al-Qur’an yang mujmal yang perlu penjelas s-sunnah seperti ibadah wajib shalat,
haji, dan lain sebagainya.
Jika as-sunnah yang
menjelaskan hokum tersebut tidak di jadikan sebagi hujjah maka sudah barang
tentu tidak akan dapat menjalankan sebagai mana mestinya apa hokum yang di
perintahkan oleh al-Qur’an[11].
D.KEDUDUKAN DAN FUNGSI AS SUNNAH
TERHADAP AL-QUR’AN
Hubungan As-Sunah
kepada Al-Quran dari segi kedudukannya sebagai hujah dan sumber untuk menggali
hukum, adalah sumber kedua setelah Al-Quran. Hal ini dikarnakan Al-Quran pasti
sohih dari segi riwayat (maqtu' bih) sedangkan As-Sunah sebagian pasti sohih
dan sebagian tidak (madznunah), As-Sunah adalah penjelasan (al-bayan)
dari Al-Quran, maka yang diberi penjelasan (Al-Quran) harus didahulukan.
Allah berfirman:
“Dan kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan”(QS.An-Nahl:44)
Di dalam ayat ini, Nabi Muhammad dengan Sunahnya adalah
sebagi pemberi penjelasan isi Al-Quran, hal ini menunjukan kewajiban untuk
mengamalkan Sunah Nabi. Jika tidak, maka kita tidak munkin mengamalkan
perintah-perintah yang ada di dalam Al-Quran tersebut.
Dengan berlandaskan bahwa al-Qur’an berstatus qoth’iy(ijmaly
dan tafsily) dan as-sunnah berstatus qoth’iy secara ijmaly dan dzonny secara
tafsily serta kedudukan al-Qur’an sebagai mubayyan dan as-sunnah sebagai
bayan maka al-Qur’an harus di dahulukan dari pada as-sunnah dan
kedudukannya tidak sama sekalipun imam syafi’iy berargument bahwa yang shohih berkedudukan
sama.[12]
Memperhatikan betapa pentingnya As-Sunah, Imam Auza'i
berkata:" Al-Quran itu lebih membutuhkan As-Sunah dibanding
As-Sunah terhadap Al-Kitab".
Sunnah merupakan
salah satu sumber ajaran islam yang menduduki sangat signifikan terkait dengan
al qur’an, baik secara struktural(sebagai
sumber hokum kedua) maupun fungsional ya’ni sebagai berikut;
1.Penguat(ta’kidy) dan
penetap(taqriry) al-Qur’an
As-Sunah
sebagai penguat dan penetap hukum yang telah ada di dalam
Al-Quran, maka dengan ini hukum tersebut memiliki dua sumber dan
dua dalil; dalil Al-Quran dan dalil penguat, As-Sunah. Hukum-hukum tersebut
Seperti perintah untuk melaksanakan sholat, menunaikan zakat, puasa
Romadhon, haji ke Baitullah, berbuat baik terhadap perempuan, larangan
menyekutukan Allah (syirik), bersaksi palsu, durhaka kepada kedua orang tua,
membunuh tanpa alasan yang benar, dan perintah ataupun larangan yang lain
di dalam Al-Quran dan dikuatkan oleh As-Sunah. Yang kedunya digunakan sebagai
dalil.
2.Penjelas(bayan tafsiry) al-Qur’an
Terkait dengan
hal ini terbagi menjadi 4 bagian, ya’ni as-Sunah sebagai perinci (mufasilah)
dari dalil yang masih global (mujmal) dari Al-Quran, sebagi pentafsir
(mufasiroh) dari dalil yang masih samar (mubham), sebagi pemberi batas
(muqoyidah) dari dalil yang masih mutlaq, memberi penghususan
(mukhosisoh) dari dalil yang masih umum('am) dari Al-Quran. Dalam buku
ilmu ushul fiqih karangan Drs. Muhammad ma’shum zein, beliau menambahi dengan taudhih
al musykil (menjelaskan ayat al-Qur’an yang masih rumit).
3.Penjelas ayat-ayat nasikh
mansukh.
Bayan Nasakh
adalah dalil yang membatalkan pengamalan dengan sesesuatu hukum syara’ sebab
adanya dalil setelahnya.
As sunnah
sebagai penjelasan terhadap ayat –ayat al-Qur’an yang merevisi dan direvisi
seperti pada firman Allah, “diwajibkan atas kalian, apabila seorang diantara
kalian kedatangan(tanda-tanda) kematian, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf. (Ini adalah)
kewajiban atas orang- orang yang bertaqwa”(QS. Al –Baqoroh: 180).ayat ini
direvisi dengan ayat-ayat mawarits, hanya saja revisi tersebut diketahui dari
penjelasan as-sunnah.
4.Menetapkan hokum baru
yang belum pernah disebutkan dalam al-Qur’an(bayan tasyri’dan ziyadah)
As-Sunah sebagi
dalil independen (mustaqil) di dalam menetapkan hokum yang hakikatnya tidak ada
dalam al-Qur’an, melalui 3 jalan yaitu, ilhaq, qiyas, dan
isthinbath(ijtihad).[13]
Didalam As-Sunah terdapat dalil berbentuk perintah dan
larangan, tanpa ada di dalam Al-Quran, sehingga hukum ditetapkan berdasarkan
As-Sunah, bukan Al-Quran. Di dalam bentuk perintah, seperti kewajiban zakat
fitrah, menolong orang yang dianiaya adapun di dalam bentuk larangan, seperti
hukum dilarangnya bagi suami untuk berpoligami dengan mengumpulkan
perempuan bersama bibik perempuan tersebut (bibi dari pihak ayah atau ibu),
hukum haramnya bersetubuh di siang hari bulan Romadhon, hukum haramnya
memakan daging binatang buas yang bertaring, hadits yang menerangkan
tentang hukuman rajam bagi zina mukhshan, keharaman memakai sutra dan emas bagi
laki- laki, dan lain sebagainya[14]dll.
Imam Syafii menyatakan, "Apabila As-Sunah adalah
tambahan Al-Quran, maka As-Sunah mengikuti dan kembali kepada AlQuran dan masuk
di bawah dasar-dasar umum syariat Al-Quran. Ijtihad hukum Rosulullah
berpangkal pada Al-Quran dan ruh syariat. Dengan ini, maka tidak mungkin akan
terjadi pertentangan dan perselisihan antara Al-Quran dan As-Sunah."
Imam Syaukani dan Imam Syafii menyatakan, "Pengingkaran
terhadap Sunah berkonsekwensi sangat bahaya di dalam agama, dan membuat kita
tidak faham sholat, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban lain yang masih global
dalam Al-Quran yang dijelaskan oleh Sunah. Kecuali dengan perkiraan bahasa
saja. Dengan sebab ini, gugurlah sholat, zakat, hal yang telah diketahui
turun-temurun oleh semua orang wajibnya. Hingga mengetahui hal tersebut adalah
pengetahuan pokok dalam agama. Orang yang mengingkari Sunah tidak ada
arti apa-apa di dalam Islam".
Walaupun as-sunnah
dapat menjadi hujah secara independen (mustaqil), sebagaimana juga Al-Quran,
namun kedua kitab tersebut saling melengkapi dan meligitimasi bahwa
keduanya adalah hujah dan sumber hukum di dalam sari'at Islam[15].