A. Pendahuluan
Sebagai
salah satu sumber hukum Islam, hadis memiliki kedudukan yang penting bagi umat
Islam. Malahan, hadis menjadi satu di antara dua panduan beragama umat Islam
agar selamat dan tidak sesat dalam kehidupan di dunia. Begitu besar perhatian
ulama dan umat Islam, pelbagai kajian dan studi muncul untuk memahami hadis.
Ulama telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang
memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan
pengenalan terhadap para perawi hadis dalam rangka upaya untuk memahami hadis
dalam lingkup Ulumul Hadis[1][1]. Ilmu-ilmu
itu tumbuh dalam waktu yang hampir bersamaan dan saling berkaitan.
Salah satu cabang
ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan,
penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadis adalah tahammul wa ‘ada’ul
hadis. Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadis dari seorang guru
dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadis[2][2]. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib memberikan defenisi tahamul dengan kegiatan menerima dan
mendengar hadis[3][3]. Jadi tahammul adalah proses menerima
periwayatan sebuah hadis dari seorang guru dengan metode-metode tertentu.
Sedangkan ‘ada adalah kegiatan
meriwayatkan dan menyampaikan hadis. Menurut Nuruddin ‘Itr, ‘ada adalah
menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain[4][4]. Jadi ‘ada merupakan proses
menyampaikan dan meriwayatkan hadis.
Dalam periwayatan hadis tersebut, menerima (tahammul) maupun menyampaikan
(‘ada), ada yang dilakukan dengan lafzi atau ma’nawi. Lebih lanjut cara
periwayatan hadis ini akan penulis bahas pada makalah ini, disertai dengan
kedudukannya dalam periwayatan, apakah boleh atau tidaknya periwayatan ma’nawi,
serta syarat yang harus dipenuhi dalam periwayatan ma’nawi.
B. Pengertian Periwayatan Hadis
Terhimpunnya hadis dalam kitab-kitab hadis semisal Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim telah melalui kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayat. Dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan dengan menceritakan hadis atau periwayatan[5][5]. Sesuatu yang
di riwayatkan secara umum juga biasa disebut dengan riwayat[6][6].
Kata riwayat adalah masdar dari kata kerja rawa yang berarti naql
dan zikir. Artinya adalah penukilan dan penyebutan[7][7]. Dalam istilah ilmu hadis, riwayat adalah kegiatan penerimaan dan
penyampaian hadis.
Perawi hadis
adalah orang yang menerima hadis dari guru dan kemudian menyampaikan atau
mengajarkannya kepada orang lain (murid). Dengan demikian ada dua fungsi perawi, yaitu menerima dan menyampaikan.
Seorang sahabat yang menerima hadis dari Rasul, misalnya, tetapi dia tidak
menyampaikannya kepada yang lain, maka ia tidak disebut perawi. Adapun proses
penerimaan dan penyampaian hadis kepada yang lain disebut periwayatan.
Seorang perawi hadis dituntut menyampaikan hadis yang diterimanya dari
rasul atau sahabat kepada lain seperti apa yang didengarnya tanpa disertai
komentar. Perawi bukan pensyarah atau penjelas hadis yang disampaikan. Apabila ia memberi tambahan penjelasan
atau komentar, maka tidak disebut materi hadis. Oleh sebab itu dia bukan perawi yang dipercaya dan diterima riwayatnya[8][8].
Secara istilah riwayah adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu
kepada para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis adalah sebagai berikut:
- Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan rawi (periwayat)
- Apa yang diriwayatkan
- Susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad)
- Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan
- Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al-hadis).
C. Periwayatan
dengan lafaz (riwayat bil lafzi)
Meriwayatkan
hadis dengan lafaz adalah meriwayatkan hadis sesuai dengan lafaz yang mereka
terima dari Nabi Muahmmad. Dengan istilah lain yaitu meriwayatkan hadis dengan
lafaz yang masih asli dari Nabi Muhammad SAW. Kebanyakan sahabat menempuh
periwayatan hadis melalui jalur ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis
sesuai dengan redaksi dari Nabi Muhammad SAW bukan menurut redaksi mereka.
Malahan semua sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzi bukan
maknawi[9][9].
Tercatat
dalam sejarah, bahwa para sahabat nabi adalah orang yang sangat berhati-hati
dan ketat dalam periwayatan hadis. Mereka tidak mau meriwayatkan sebuah hadis
hingga yakin betul teks serat huruf demi huruf yang akan disampaikan itu sama
dengan yang mereka terima dari Nabi Muhammad SAW.
Sebagian
sahabat ada yang jika ditanya tentang sebuah hadis merasa lebih senang jika
sahabat lain yang menjawabnya. Hal demikian agar ia terhindar dari kesalahan
periwayatan. Menurut mereka, apabila hadis yang diriwayatkan itu tidak sesuai
dengan redaksi yang diterima, mereka telah melakukan perbuatan dosa,
seolah-olah telah melakukan pendustaan terhadap nabi Muhammad SAW. Kekhawatiran
tersebut karena didorong oleh rasa keimanan mereka yang kuat kepada Nabi
Muhammad SAW[10][10].
Dalam hal
ini Umar bin Khatab pernah berkata:
من سمع حديثا فحدث به كما سمع فقد سلم
Artinya: “Siapa yang mendengar sebuah hadis kemudian ia meriwayatkannya seperti yang ia dengar, maka ia telah selamat”[11][11]
Periwayatan
dengan lafaz ini dapat kita lihat pada hadis-hadis yang memiliki redaksi
sebagai berikut:
1.
سمعت (Saya
mendengar)
Contoh:
عن المغيرة قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم
يقول: إِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه مسلم وغيره)
Artinya:
Dari Mughirah ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain.
Maka siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati
tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lain-lainnya)
2.
حدّثنى ( ia
menceritakan kepadaku)
Contoh:
حَدَّتَنِى مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ
حُمَيْدِبْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ
مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya:
Malik dari Ibnu Syihab telah bercerita kepadaku, dari Humaidi bin Abdur Rahman
dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang melakukan qiyam
Ramadhan dengan iman dan ihtisab, diampuni doasa-dosanya yang telah lalu.”
3.
أخبرنى (Ia
memberitakan kepadaku)
4.
رأيت (Saya
melihat)
Contoh:
عن عبّاس بن
ربيع قال: رأيت عمربن الخطّاب رضي الله عنه يقبّل الحجر “يعنى الأسود” ويقول
إِنِّى لاَءَ عْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَتَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّى
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا
قَبَّلْتُكَ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya:
Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra.,
mencium Hajar Aswad lalu ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa
engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi
manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah SAW. menciummu, aku (pun) tak
akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis yang
menggunakan lafaz-lafaz di atas memberikan indikasi, bahwa para sahabat
langsung bertemu dengan Nabi SAW dalam meriwayatkan hadis. Oleh sebab itu para
ulama menetapkan periwayatan hadis dengan lafaz dapat dijadikan hujjah, dan
tidak ada khilaf.
D. Periwayatan dengan ma’na (riwayat bil ma’na)
Meriwayatkan
hadis dengan makna adalah meriwayatkan hadis berdasarkan kesesuaian maknanya
saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Dengan
kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja,
lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafaz atau susunan redaksi mereka
sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang
kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama,
sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi
sudah tidak diingatnya lagi.
Periwayatan
hadis dengan makna tidak diperbolehkan kecuali jika perawi lupa akan lafaz tapi
ingat akan makna, maka ia boleh meriwayatkan hadis dengan makna[12][12].
Sedangkan
periwayatan hadis dengan makna menurut Luis Ma’luf adalah proses penyampaian
hadis-hadis Rasulullah SAW dengan mengemukakan makna atau maksud yang dikandung
oleh lafaz karena kata makna mengandung arti maksud dari sesuatu[13][13].
Menukil atau
meriwayatkan hadis secara makna ini hanya diperbolehkan ketika hadis-hadis
belum terkodifikasi. Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun dan dibukukan
dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya
dengan lafaz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.
Dengan kata
lain bahwa perbedaan sehubungan dengan periwayatan hadis dengan makna itu hanya
terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa pembukuan hadis. Setelah hadis
dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan pendapat itu telah hilang dan
periwayatan hadis harus mengikuti lafaz yang tertulis dalam kitab-kitab itu,
karena tidak perlu lagi menerima hadis dengan makna[14][14].
Pada umumnya
para sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadis secara makna, seperti: Ali bin
Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud(wafat 32 H/652 M), Anas bin
Malik (wafat 93 H/711 M), Abu Darda’ (wafat 32
H/652 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M) dan Aisyah istri Rasulullah
(wafat 58 H/678 M). Para sahabat Nabi yang melarang periwayatan hadis secara
makna, seperti: Umar bin Al-khattab, Abdullah bin Umar bin al-Khattab dan Zaid
bin Arqam[15][15].
Terjadinya
periwayatan secara lafaz disebabkan beberapa faktor berikut:
a.
Adanya hadis-hadis yang memang tidak
mungkin diriwayatkan secara lafaz, karena tidak adanya redaksi langsung dari
nabi Muhammad SAW, seperti hadis fi’liyah, hadis taqririyah, hadis mauquf dan
hadis maqthu’. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah secara makna dengan
menggunakan redaksi perawi sendiri.
b. Adanya
larangan nabi untuk menuliskan selain Alquran. Larangan ini membuat sahabat
harus menghilangkan tulisan-tulisan hadis. Di samping larangan, ada
pemberitahuan dari nabi tentang kebolehan menulis hadis
c. Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan, menyampaikan
sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat susunan kata-katanya[16][16].
Adapun
contoh hadis ma’nawi adalah sebagai berikut:
جَائَتْ اِمْرَأَةٌ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَرَادَ اَنْ تَهِبَ نَفْسَهَالَهُ فَتَقَدَّمَ رَجُلٌ
فَقاَلَ: يَارَسُوْلَ اللهِ اَنْكِحْنِيْهَا وَلَمْ يَكُنْ مَعَهُ مِنَ الْمَهْرِ
غَيْرَ بَعْضِ الْقُرْآنِ فَقاَلَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ وفىرواية, قَدْ
زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ وفىرواية, زَوَّجْتُكَهَا عَلَى
مَعَكَ مِنَ الْقُرآنِ وفىرواية, مَلَكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرآنِ
(الحديث)
Artinya: Ada
seorang wanita datang menghadap Nabi SAW, yang bermaksud menyerahkan
dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata:
Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki
tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia
hafal sebagian ayat-ayat Alquran. Maka Nabi SAW berkata kepada laki-laki
tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin)
berupa mengajarkan ayat Alquran.
Dalam satu
riwayat disebutkan:
“Aku kawinkan engkau kepada wanita
tersebut dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Alquran.”
Dalam
riwayat lain disebutkan:
“Aku kawinkan engkau kepada wanita
tersebut atas dasar mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Alquran.”
Dan dalam
riwayat lain disebutkan:
“Aku jadikan wanita tersebut milik
engkau dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Alquran.” (Al-Hadis)
E. Hukum Periwayatan Hadis secara Makna
Telah terjadi perselisihan pendapat antara ulama tentang hukum periwayatan hadis secara
makna. Perselisihan itu terjadi sebelum
dikodifikasinya hadis. Sedangkan setelah pentadwinan dengan berbagai
karangan-karangan buku hadis maka tidak boleh adanya periwayatan hadis secara
makna[17][17].
Para ulama
berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadis secara makna. Sebagian
ahli hadis, ahli ushul dan ahli fiqh mengharuskan para perawi meriwayatkan
hadis dengan lafaznya yang didengar, tidak boleh ia meriwayatkan hadis dengan
maknanya sekali-kali.
Sedangkan
jumhur ulama, yaitu imam yang empat memperbolehkan periwayatan hadis secara
makna bagi yang mempunyai ilmu terhadap lafaz-lafaz hadis dengan catatan bukan
hadis yang berhubungan dengan ibadah dan bukan perkataan Rasulullah[18][18].
Ulama-ulama lain
berpendapat membolehkan seseorang mendatangkan atau meriwayatkan hadis dengan
pengertiannya tidak dengan lafaz aslinya. Apabila ia seorang yang menguasai
ilmu Bahasa Arab, mengetahui sistem penyampaiannya, berpandangan luas tentang
fiqh, dan kemungkinannya lafaz-lafaz yang mempunyai beberapa pengertian
sehingga akan terjaga dari pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan
hukum dari hadis tersebut dan wajib menyampaikan dengan lafaz yang ia dengar
dari gurunya.
Imam Syafi’i
menerangkan tentang sifat-sifat perawi bahwa hendaknya orang yang menyampaikan
hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi terkenal bersifat
benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal
yang memalingkan makna dari lafaz dan hendaklah dia dari orang yang
menyampaikan hadis persis sebagaimana yang didengar, bukan diriwayatkan dengan
makna.
Apabila
diriwayatkan dengan makna sedang dia seorang yang tidak mengetahui hal-hal yang
memalingkan makna niscaya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi ia
memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila ia menyampaikan hadis
secara yang didengarnya, tidak lagi kita khawatir bahwa dia memalingkan hadis
kepada yang bukan maknanya. Dan hendaklah ia benar-benar memelihara kitabnya
jika dia meriwayatan dengan hadis itu dari kitabnya.
Dari
penjelasan ini nyatalah bahwa orang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan
makna dari lafaz, boleh meriwayatkan dengan makna apabila dia tidak ingat lagi
lafaz yang asli, karena dia telah menerima hadis, lafaz dan maknanya.
Imam Mawardi
mewajibkan menyampaikan hadis dengan maknanya apabila lupa lafaznya, khawatir
apabila hadis itu tidak disampaikan, kita termasuk golongan yang menyembunyikan
hadis.
Ada pendapat
lain yang membolehkan meriwayatkan hadis dengan maknanya saja dengan syarat
bahwa hadis itu bukan yang diibadati dan ini hanya terjadi pada periode sahabat
dan tabi’in, dan dibolehkan hanya bagi ahli-ahli ilmu saja. Menjaga
kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis yang hanya dengan maknanya itu setelah
meriwayatkan hadis harus memakai kata-kata كما قال dan شبهه serta yang
serupa dengannya.
Secara lebih
terperinci dapat dikatakan bahwa meriwayatkan hadis dengan maknanya itu sebagai
berikut:
1. Tidak diperbolehkan, pendapat
segolongan ahli hadis, ahli fiqh dan ushuliyyin.
2. Diperbolehkan, dengan syarat yang
diriwayatkan itu bukan hadis marfu’.
3. Diperbolehkan, baik hadis itu marfu’ atau
bukan asal diyakini bahwa hadis itu tidak menyalahi lafaz yang didengar, dalam
arti pengertian dan maksud hads itu dapat mencakup dan tidak menyalahi.
4.
Diperbolehkan, bagi para perawi yang
tidak ingat lagi lafaz asli yang ia dengar, kalau masih ingat maka tidak
diperbolehkan menggantinya.
5.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa
hadis itu yang terpenting adalah isi, maksud kandungan dan pengertiannya, masalah
lafaz tidak jadi persoalan. Jadi diperbolehkan mengganti lafaz dengan murodif-nya.
6.
Jika hadis itu tidak mengenai
masalah ibadah atau yang diibadati, umpamanya hadis mengenai ilmu dan
sebagainya, maka diperbolehkan dengan catatan:
a. Hanya pada
periode sahabat
b. Bukan hadis
yang sudah didewankan atau di bukukan
c. Tidak pada
lafaz yang diibadati, umpamanya tentang lafaz tasyahud dan qunut.
F. Syarat–syarat Periwayatan Secara Makna
Keabsahan periwayatan hadis bil secara mkna memunculkan kontroversi di kalangan ulama. Abu
Bakar ibn al Arabi (w. 573 H/1148) berpendapat bahwa selain sahabat Rasulullah
SAW tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna.
Lebih jauh, Abu Bakar mengemukakan alasan yang mendukung pendapatnya
tersebut. Pertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi dan
kedua, sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan Nabi SAW.
Namun, pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan selain sahabat diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
Namun, pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan selain sahabat diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan matan hadis
akan terhindar dari kekeliruan.
2. Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya karena
lupa susunan secara lafaz atau harfiah.
3. Yang diriwayatkan dengan makna bukan merupakan bentuk bacaan bacaan yang
sifatnya ta’abbudi, seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta bukan
yang berbentuk jawami al kalim.
4. Periwayat hadis secara makna atau mengalami keraguan akan susunan matan
hadis yang diriwayatkannya agar menambah kata اوكما قالatau او نحو هداatau yang semakna dengannya setelah menyatakan
matan hadis yang bersangkutan.
5. Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum
dibukukannya hadis secara resmi. Sesudah masa pembukuan (kodifikasi) hadis,
periwayatan hadis harus secara lafaz.
Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak
hafal persis seperti yang di wurud-kan Rasulullah SAW, dibolehkan meriwayatkan
hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang
matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, tetapi isi
atau maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
Rasulullah SAW.
Shubhi Ismail menyebut empat syarat yang harus dipenuhi periwayatan dengan
makna adalah pertama, perawi hadis itu betul-betul seorang yang alim mengenai
ilmu nahwu, sharaf dan ilmu bahasa Arab; kedua, perawi itu harus mengenal
dengan baik segala madlul lafaz dan maksud-maksudnya; ketiga, perawi itu harus
betul-betul mengetahui hal-hal yang berbeda di antara lafaz-lafaz tersebut; dan
keempat, perawi itu harus mempunyai kemampuan menyampaikan hadis dengan
penyampaian yang benar dan jauh dari kesalahan atau kekeliruan.
Di samping empat syarat tersebut Abu Rayyah menambah satu syarat lagi,
yaitu tidak boleh penambahan atau pengurangan di dalam terjemahan (penyampaian
hadis dengan makna) terserbut. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi,
maka tidak boleh meriwayatkan hadis bil ma’na, tetapi boleh meriwayatkan bi
al-lafzh.
PENGERTIAN
RIWAYAT BI AL-LAFZH WA BI AL MA’NA.
Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah
melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayah,
yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan.[19][3] kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja
rawa dan dapat berarti al-naql
(penukilan), al-zikr
(penyebutan), al-fatl (pemintalan)
dan al-istoqa’ (pemberian minum
sampai puas).[20][4] Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum
juga biasa disebut dengan riwayat.
Sementara secara istilah ilmu hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang
dimaksud dengan al-riwayah adalah
“Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada
rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.[21][5] Orang yang telah
menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadis itu
kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah
melakukan periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadis yang
diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu tidak
menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat
dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis.
Menurut Muhammad Ajjaj Al-Khatib dalam Ushul Hadits ulumuhu wa
Mustalahuhu menegaskan bahwa periwayatan hadis adalah menyampaikan atau
meriwayatkan suatu hadis kepada orang lain.
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada
dalam periwayatan hadis Nabi, yaitu;
(1). orang
yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan ar-rawiy
(periwayat), seperti Bukhari, Muslim.
(2). apa yang diriwayatkan (al-marwiy),
keseluruhan hadis yang diriwayatkan
(3). susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad),
sejak mulai dari periwayat
pertama yang menerima langsung dari nabi hingga periwayat terakhir.
(4). kalimat
yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan.
(5). kegiatan yang berkenaan dengan proses
penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al- Hadis).
Berdasarkan definisi yang diuraikan diatas maka secara spesifik pengertian
periwayatan hadits secara lafas dan makna selanjutnya akan dibahas dalam sub
bagian dibawah ini.
1.
Pengertian Riwayat Bi Al-Lafzh.
riwayat bi al-lafzh dimaksudkan adalah periwayatan hadist dengan
menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata,
penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. riwayat bi al-lafzh sering
juga disebut dengan periwayatan secara lafzhi[22][6]. Munzier Suparta memberikan terminologi periwayatan lafzhi adalah periwayatan hadis yang
redaksinya atau matannya sama persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW dan
hanya bisa dilakukan apabila di hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.[23][7]
Dari beberapa pengertian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa
pengertian tentang riwayat bi al-lafzh yaitu
redaki suatu hadits yang diriwayatkan tersebut sama persis seperti yang
disampaikan rasulullah.
4.
contoh
hadis yang diriwayatkan dengan lafaz (riwayat bi al-lafz)
- Riwayat
Abu Daud
حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة حدثنا أبو خالد وأبن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترق
“ Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu
Saibah, menceritakan kepada kami Abu Khalid dan Ibnu Numair dari al-Ajlah dari
Abu Ishaq dari al-Bara’, ia berkata Rasulullah SAW. bersabda : Tidaklah dua
orang muslim bertemu lalu berjabat tangan kecuali Allah akan memberi ampunan
kepada keduanya sebelum mereka berpisah” (HR. Abu Daud)
- Riwayat Ahmad
حدثنا أبن نمير أخبرنا الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
- Riwayat Ibnu Majah
حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة حدثنا أبو خالد الأحمر و عبدالله بن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
- Riwayat al-Tirmidhi
حدثنا سفيان بن وكيع و أسحق بن منصور قال حدثنا عبدالله بن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء بن عازيب قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
Dari lima buah hadis tersebut, bisa dilihat sahabat Rasulullah yang menjadi perawi pertama untuk seluruh sanad hadis tersebut adalah al-Barra’bin ‘Azib. Nama-nama perawi dalam sanad hadis tersebut adalah orang yang sama pada tingkatan (tabaqat) pertama sampai dengan ketiga, yaitu :
1. Al-Barra
bin ‘Azib
2. Abu Ishaq
3. ‘Ajlah
bin ‘Abdullah
Akan tetapi terdapat perbedaan perawi pada tingkatan keempat , yaitu:
1. Ibnu Numair
1. Ibnu Numair
2. Abu
Khalid
Pada tingkatan selanjutnya juga terjadi perbedaan. Imam Ahmad langsung
sebagai mukharrij, sedangkan imam Ibnu Majah, Abu Daud dan al-Timidhi masih
memiliki rangkaian rawi, yaitu :
1. Sufyan
bin Waqi’
2. Ishaq bin
Mansur
3. Abu Bakar
Kelima hadis di atas dapat dikategorikan ke dalam hadis-hadis yang
diriwayatkan secara lafal, karena kelimanya tidak memiliki perbedaan secara
harfiyah.[24][8]
2. Pengertian
Riwayat Bi Al-Ma’na.
riwayat bi al-ma’na
yaitu meriwayatkan hadist dengan lafadz yang disusun perawi sendiri sesuai
dengan makna yang dicakup oleh ucapan, perbuatan dan takrir ataupun sifat Nabi. riwayat bi al-ma’na merupakan sebuah proses periwayatan dengan
redaksi yang sedikit berbeda dengan yang didengar dari Rasul SAW namun dengan
substansi makna yang tetap sesuai dengan maksud yang disampaikan oleh Rasul
SAW. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Munzier Suparta bahwa riwayat bi al-ma’na adalah periwayatan hadis yang matannya tidak
persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW, akan tetapi isi atau
maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksud oleh Rasul SAW
tanpa ada perubahan sedikitpun.[25][9]
Dari ilustrasi tersebut maka kata kunci terminologi riwayat bi al-ma’na adalah proses penyampaian dan penerimaan hadis
dengan redaksi yang berbeda akan tetapi tetap pada substansi makna dan maksud
yang sama.
C. KONTROVERSI PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG KEBOLEHAN DAN KETIDAKBOLEHAN RIWAYAT BI AL-MA’NA.
1. Pendapat Yang Membolehkan,
Alasan Dan Syarat-Syaratnya.
Hampir semua
ulama hadis memperbolehkan riwayat bi
al-ma’na, mereka beralasan bahwa hadits itu tidak hanya berupa ucapan,
tetapi terkadang berupa tingkah laku nabi. Dalam mendeskripsikan tingkah laku
nabi yang disaksikan oleh para sahabat, boleh jadi akan muncul redaksi yang
berbeda kendati maksudnya sama. Bahkan, karena kemampuan daya tangkap
masing-masing sahabat berbeda, maka boleh jadi kesimpulannya juga berbeda.
Abdullah ibn Sulaiman al-laits menyampaikan keterbatasan kemampuannya menerima
hadits secara utuh. Artinya ia mengaku tidak mampu menangkap hadits persis
seperti apa yang didengarnya. Hurufnya terkadang bertambah, terkadang juga
berkurang.[26][10] Disamping itu, adanya larangan dari nabi untuk
tidak menuliskan selain alqur’an juga menyebabkan riwayat bi al-ma’na, Karena tidak semua ingatan sahabat kuat
sehingga hanya berupa makna dari hadis tersebut yang disampaikan.
Abu Bakar ibn al Arabi (w. 573 H/1148) berpendapat bahwa selain
sahabat Rasulullah SAW tidak diperkenankan meriwayatkan hadis
secara makna. Lebih jauh, Abu Bakar mengemukakan alasan yang
mendukung pendapatnya tersebut. Pertama, sahabat memiliki pengetahuan
bahasa Arab yang tinggi dan kedua, sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan Nabi SAW.[27][11]
Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena
tidak hafal persis seperti yang di wurud-kan Rasulullah SAW, dibolehkan meriwayatkan hadis
secara maknawi (riwayat bi
al-ma’na). Periwayatan maknawi
artinya periwayatan hadis yang matannya tidak sama
dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya
tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
Rasulullah SAW.[28][12]
Dari beberapa alasan para sahabat dan ulama hadis diatas, penulis simpulkan
bahwa alasan para sahabat dan ulama hadis membolehkan riwayat bi al-ma’na adalah:
a. Adanya hadis-hadis yang
memang tidak mungkin diriwayatkan secara lafaz, karena tidak adanya redaksi
langsung dari nabi Muhammad SAW, seperti hadis fi’liyah, hadis taqririyah,
hadis mauquf dan hadis maqthu’. Periwayatan hadis-hadis
tersebut adalah secara makna dengan menggunakan redaksi perawi sendiri.
b. Adanya larangan nabi untuk
menuliskan selain Alquran. Larangan ini membuat sahabat harus menghilangkan
tulisan-tulisan hadis. Di samping larangan, ada pemberitahuan dari nabi tentang
kebolehan menulis hadis
c. Sifat dasar manusia yang
pelupa dan senang kepada kemudahan, menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih
mudah dari pada mengingat susunan kata-katanya.
Adapun
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi hadis dalam meriwayatkan
hadis secara makna (riwayat bi al-ma’na)
adalah:
1). Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan matan
hadis akan terhindar
dari kekeliruan.
2). Periwayatan
dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya karena
lupa susunan secara lafaz atau harfiah.
3). Yang
diriwayatkan dengan makna bukan merupakan bentuk bacaan bacaan yang
sifatnya ta’abbudi, seperti
zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta bukan pula merupakan ajaran yang prinsipil (jawami’
al-kalim)
4). Periwayat
hadis secara makna atau mengalami keraguan akan susunan matan
hadis yang diriwayatkannya agar menambah kata او كما قا ل atau او نحو هذا atau yang semakna dengannya setelah
menyatakan matan hadis yang bersangkutan.
5).Kebolehan
riwayat bi al-ma’na hanya terbatas pada masa sebelum
dibukukannya hadis secara resmi. Sesudah masa pembukuan
(kodifikasi) hadis, periwayatan hadis harus secara lafaz.[29][13]
Adapaun yang membolehkan riwayat bi
al-ma’na memberikan
persyaratan khusus, yaitu :
1).Para
perawi harus mengetahui secara baik kosa kata bahasa Arab sehingga dapat membedakan mana lafazh yang mendukung makna hadis yang diriwayatkan dan mana yang
tidak, dan bahkan dapat membedakan secara cermat diantar lafazh-lafazh yang
hampir sama dalalahnya.
Abu Bakar ibn al-‘Arabi (w. 54411)
sebagaimana dikutip Shubhi al-Shalih, menambahkan persyaratan, bahwa yang
dibolehkan meriwayatkan hadis dengan makna tersebut hanyalah para sahabat,
sedangkan selain sahabat dilarang meriwayatkan hadis bi al-makna tersebut. Di boleh meriwayatkan hadis dengan makna
karena di menguasai bahasa Arab dengan baik, baik fashahah maupun balaghahnya,
selain itu di juga menyaksikan langsung ucapan, perbuatan dan taqrir nabi sehingga dengan demikian di
sangat paham maksud ucapan, perbuatan, dan takrir
nabi tersebut. [30][14]
2). perawi benar-benar lupa lafazh-nya dan ingat
maknanya sedang dia harus menyampaikan hukum yang dikandungnya.[31][15] Alasan yang di kemukakan untuk membolehkan periwayatan hadis bi al-makna adalah hadis yang
diriwayatkan al-Thabrani dari Sulaiman ibn Uyaimah al-Laits yang bertanya
kepada Rosulullah Saw. “Saya apabila mendengar hadis darimu ya Rasul, tidak
sanggup menyampaikannya sebagaimana yang saya dengar darimu, bertambah satu
huruf atau berkurang, Rasul menjawab: “Selama kamu tidak mengharamkan yang
halal dan menghalalkan yang haram, tidak masalah kamu menyampaikan maknanya”
3). lafazh
hadis itu bukan lafazh yang bernilai ibadah seperti adzan, iqamah, tasyahud dan lain-lain, dan bukan pula merupakan ajaran
yang prinsipil (jawami’ al-Kalim).
4). memang
dimugkinkan untuk mengganti lafazh dengan padanannya (sinonim) yang tidak akan
membawa perbedaan pengertian dari maksud lafazh semula.[32][16]
Dari
uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa periwayatan hadis secara makna
memiliki persyaratan yang ketat sehingga tidak jauh dari substansi hadis yang
dimaksud.
2.
Pendapat
yang melarang dan alasannya.
Sebagian
sahabat melarang riwayat bi al-ma’na
seperti: Umar bin Al-khattab, Abdullah bin Umar bin al-Khattab dan Zaid bin
Arqam.[33][17]
sebagian ahli hadis, ahli
fiqh, dan ahli ushul mengharuskan para rawi meriwayatkan hadis dengan lafalnya
yang didengar, tidak boleh dia meriwayatkan dengan maknanya sekali-kali.
Demikian juga yang dinukilkan oleh Ibnush Shalah dan An Nawawi, Ibnu Sirien,
Tsailab, dan Abu Bakar Ar Razi. mereka berpendapat bahwa perawi-perawi harus
meriwayatkan persis sebagai lafadz yang ia dengar.
Mereka yang
menolak periwayatan hadits bi al ma’na
beralasan bahwa, riwayat bil ma’na dapat merubah makna
hadits. Sebab perawi berusaha mencari lafazh-lafazh yang semakna dengan lafazh
hadits, sedangkan makna lafazh-lafazh itu dapat berbeda-beda. Mungkin saja
perawi lupa akan sebagian makna yang samar serta terkadang menambah redaksi
matan dan terjerumus pada kesalahan.
Alasan mereka adalah :
a) Perkataan
nabi mengandung fashohah dan balagah yang tinggi, dan
hadits-haditsnya merupakan ajaran yang bersumber dari wahyu Allah.
b) Nabi pernah
mengkritik sahabat yang mengganti lafal hadits.
Pendapat
mereka diperkuat dengan mengajukan beberapa faktor sebagai berikut:
a) Daya hafalan
yang sangat kuat.
b) Pencatatan
hadits oleh sebagian sahabat sangat membantu periwayatan secara lafal.
c) Adanya
majlis yang sering digunakan untuk menerima dan meriwayatkan hadits sangat
membantu mereka untuk mengishlah bila terjadi kesalahan.[34][18]
C. SEBAB-SEBAB KEBERVARIASIAN RIWAYAT.
Sebab-sebab kebervariasian
riwayat adalah sebagai berikut, di antaranya: 1. Berbilang/bermacam-macamnya kejadian
Berbeda-bedanya
redaksi dalam satu hadits bukanlah suatu aib/cela dalam sebuah hadits apabila
maknanya satu, karena telah shahih riwayat dari Nabi SAW bahwa apabila beliau
berbicara beliau mengulang-ulang tiga kali. Maka masing-masing orang (Sahabat)
yang mendengar hadits itu menyampaikan kepada orang lain sesuai dengan apa yang
dia dengar. Maka perbedaan dalam riwayat seperti ini tidak melemahkan hadits,
apabila maknanya satu.
2. Riwayat dengan makna bukan dengan lafazhnya
Dan hal ini adalah sebab
yang paling sering menjadikan perbedaan riwayat dalam satu hadits. Karena
sesungguhnya yang paling penting dalam menyampaikan haidts adalah menyampaikan
kandungan dan isinya, adapun lafazh atau redaksinya tidak ta’abudi
(membacanya bukanlah ibadah, maksudnya tidak memiliki pahala khusus dengan
membacanya), sebagaimana al-Qur’an yang ta’abudi.
Contohnya adalah hadits:
- Riwayat Imam Muslim
حدثني أبو غسّان المسمعيّ حدثنا عثمن بن عمر حدثنا أبو
عامر يعني الخزّاز عن أبي عمران عن عبدالله بن الصّامت الجوني عن أبي ذرّ قال قال
لي النبي صلى الله عليه وسلّم لا تحقرنّ من المعروف شيأولو أن تلقي أخاك بوجه طلق
“ Telah menceritakan kepadaku Abu Gassan al-Misma’i,
telah menceritakan kepada kami Uthman bin ‘umar, menceritakan kepada kami Abu
‘Amit, meriwayatkan kepada Abu ‘Imran lalu meriwayatkan kepada Abu ‘Amir
al-Khazzaz. Pada tingkatan selanjutnya kemudian ada perbedaan, yaitu Rauh yang
langsung kepada Imam Ahmad dan Usman bin ‘Umar kemudian Abu Ghassan pada Imam
Muslim.
- Jalur riwayat Imam Ahmad
حدثنا اسحق بن عيسى حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن حابر بن عبدالله قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة ومن المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
حدثنا قتيبه بن سعيد حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن جابر بن عبدالله قال أخيك قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة وانّ المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
- Jalur Riwayat al-Tirmidhi
حدثنا قتيبه بن سعيد حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن جابر بن عبدالله قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة وانّ المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
وفي الباب عن أبي ذرّ قال أبو عيس هذا حديث صحيح
perbedaan lafazh/redaksi ini
sebabnya adalah meriwayatkan hadits dengan makna, karena sesungguhnya perawi
hadits ini satu, yaitu: Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimi dari
‘Alqamah dari ‘Umar radhiyallahu 'anhu. Dan yang diperhatikan di sini
adalah bahwa makna yang dipahami dari kalimat-kalimat di atas adalah satu, maka
kerusakan apa yang timbul dari banyaknya riwayat yang seperti ini?[35][19]
supaya
para Ulama lebih tenang bahwasanya perawi (orang yang menukil hadits) telah
menukil makna shahih (yang benar) dari sebuah hadits, maka mereka tidak
menerima hadits yang diriwayatkan dengan makna kecuali dari orang yang paham
dengan bahasa Arab, kemudian membandingkan riwayatnya dengan riwayat selainnya
dari kalangan perawi yang tsiqah
(terpercaya). Maka jelaslah bagi mereka kesalahan dalam
menukilnya, seandainya ada.
3. Meringkas hadits
ada seorang perawi yang hafal
hadits secara sempuran, akan tetapi dia mencukupkan dengan menyebutkan sepotong
dari hadits tersebut pada suatu kesempatan, dan menyebutkannya secara lengkap
pada kesempatan yang lain. Contohnya adalah riwayat hadits Abu Hurairah ra tentang kisah lupanya Nabi SAW dua raka’at dalam shalat
Dzuhur, dan semuanya (riwayat-riwayat itu) datang dari Abu Hurairah, dan itu
adalah satu kisah. Hal itu menunjukkan bahwa perbedaan riwayat-riwayat itu,
sebabnya adalah sebagian perawi yang meringkas hadits.
4. Kesalahan
seorang perawi kadang salah, lalu dia
meriwayatkan hadits tidak sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh perawi lain.
Dan mungkin untuk mengetahui kesalahan ini adalah dengan saling membandingkan
di antara riwayat-riwayat tersebut. Dan itulah yang dilakukan oleh kalangan
Ulama di dalam kitab-kitab Sunan dan kitab Takhrij.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata dalam kitab ”al-Jawab ash-Shahih”
(3/39):”Dan akan tetapi ummat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjaga untuk
mereka apa yang Dia turunkan, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (الحجر/9 )
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan
Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang
menjaganya.(QS. Al-Hijr: 9)
Maka
apa saja kekeliruan yang ada dalam tafsir al-Quran dan penukilan hadits, maka
Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membangkitkan dari kalangan ummat ini orang yang
akan menjelaskannya (kekeliruan itu), dan menyebutkan bukti akan kekeliruan
pelakunya dan kedustaan para pendustanya. Karena umat ini tidak akan bersepakat
di atas kesesatan, dan senantiasa di antara mereka ada sekelompok orang yang
berada jelas di atas kebenaran sampai datang hari kiamat, karena mereka adalah
ummat terakhir, tidak ada Nabi lagi setelah Nabi mereka, tidak ada kitab lagi
setelah kitab Nabi mereka. Dan adalah umat-umat sebelum mereka, apabila mereka
mengganti dan merubah (kitab mereka) Allah SWT akan mengutus Nabi-Nya yang
menjelaskan kepada mereka, memerintah mereka dan melarang mereka. Dan tidak ada
setelah Muhammad SAW Nabi lagi.Allah SWT telah menjamin bahwa Dia akan menjaga
apa yang Dia turunkan berupa Dzikir (al-Qur’an dan Hadits). selesai perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Dan Sunnah -sesuai dengan
bentuk yang saya sebutkan di awal, yaitu sebagai wahyu dari Allah- menjelaskan
(memperinci) kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka di dalam
al-Qur’an, dan mengajari mereka hukum-hukum yang mereka butuhkan dalan Agama
mereka. Dan seandainya perinciannya atau asalnya ada dalam al-Qur’an, maka kita
katakan bahwa Sunnah dalam bentuk yang seperti ini adalah kekhususan Nubuwah, dan ini adalah salah satu tugas
dari Nabi SAW. Maka manusia
senantiasa memandang Sunnah dalam bentuk seperti ini, dengan apa yang
terkandung dalam kitab-kitab Hadits, atau riwayat-riwayat secara lisan berupa
perbedaan sebagian lafazh (redaksi). Dan hal tersebut tidak membuat mereka
(kaum muslimin) ragu terhadap kedudukannya, atau mereka merasa pusing dalam
menghafalnya, atau ragu-ragu terhadap kehujahaanya (kedudukannya sebagai
dalil), atau membuat mereka ragu terhadap kebutuhan manusia terhadapnya.[36][
Juli 28
PERIWAYATAN HADIS DENGAN LAFAL DAN MAKNA
Upik Khoirul Abidin
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Membicarakan sejarah periwayatan
hadis tidak dapat dipisahkan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis,
hal ini disebabkan adanya perbedaan pendapat para ulama dalam penyusunan
memperiodesasi pertumbuhan dan perkembangan hadis. Ada yang membagi menjadi
tiga periode, yakni masa Rasulullah SAW., sahabat dan tabi’in, masa pen-tadwin-an
atau sesudahnya. Dengan adanya periodeisasi ini menandakan bahwa ada perbedaan
masa antara perawi satu dengan perawi lainnya, sehingga dapat menyebabkan
perbedaan lafaz hadis yang diterimanya meskipun secara maknanya sama.
Hal ini menyebabkan ada kemungkinan
besar perbedaan pula dalam meriwayatkan hadis. Dari berbagai literatur terbukti
telah dijelaskan ada dua cara dalam meriwayatkan hadis, yakni
periwayatan hadis dengan lafal dan periwayatan hadis dengan
makna. Beberapa ulama berpendapat bahwa mayoritas sahabat sangat
mengutamakan periwayatan dengan jalan lafal karena cara ini sangat menjaga
kwalitas matan hadis. Dilain sisi ada beberapa ulama yang tidak mengaharuskan
periwayatan dengan lafal, artinya mereka membolehkan periwayatan hadis
dengan cara lain (makna) asalkan periwayat melakukannya denga hati-hati dan
tidak merusak dari subtansi matannya.
Namun demikian,di kalangan ulama
muncul berbagai perbedaan tentang periwayatan hadis dengan makna. Bagi
mereka yang menerimanya berpendapat bahwa jika hadis tidak mungkin diriwayatkan
dengan lafal, maka boleh diriwayatkan dengan makna. Bagi yang menolaknya
berpendapat bahwa periwayatan hadis dengan makna dikawatirkan akan merusak
kwalitas matannya, sebab tidak menutup kemungkinan bagi periwayat terbatasi
kemampuannya untuk memahami hadis dari apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah.
Lebih jauh untuk memahami
periwayatan hadis dengan lafal dan makna serta pro kontra periwayatan hadis
dengan makna akan dijelaskan pada pembahasan di bawah ini (bab II) dan juga
beberapa contohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Periwayatan Hadis Dengan Lafal dan Makna
a.
Periwayatan Lafzhi
Periwayatan
hadis lafdhi merupakan periwayatan hadis yang lafalnya atau matannya
sama seperti yang diwurudkan oleh Rasulullah SAW.[1] Namun hal ini hanya
dapat dilakukan jika mereka (periwayat hadis) benar-benar menghafal hadis
yang disabdakan Rasulullah dan kuwat daya ingatannya.
Mayoritas
para sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar
dalam meriwayatkan hadis benar-benar sesuai dengan yang disampaikan oleh
Rasulullah, bukan menurut redaksi mereka. Hal ini dilakukan agar kwalitas matannya
terjaga. Bahkan, menurut Ajjaj Al-Khatib, seluruh sahabat menginginkan
periwayatan hadis harus melalui jalan ini (periwayatan lafzdi)[2].
Begitu
pentingnya priwayatan hadis dengan lafal, umar bin khaththab pernah berkata : “Barang
siapa yang mendengar hadis dari rasulullah SAW. Kemudian ia meriwayatkannya
sesuai yang ia dengar, maka ia akan selamat.” Ini menjadi bukti bahwa
periwayatan hadis dengan lafal sangat diutamakan dalam periwayatan hadis. Ibnu
Umar merupakan salah satu sahabat yang sangat menuntut periwayatan hadis dengan
lafal, ia sering sekali menegur sahabat yang membacakan hadis yang berbeda
dengan yang didengarnya dari Rasulullah meskipun secara subtansial makna
matannya sama. Seperti yang dilakukannya terhadap Ubaid bin Amir, suatu ketika
ia menyebutkan hadis tentang lima prinsip dasar Islam dengan meletakkan puasa
Ramadhan pada urutan ketiga, Ibnu Umar langsung menegurnya dengan menyuruhnya
agar puasa Ramadhan diletakkan pada urutan keempat sebagaimana yang ia dengar
dari Rasulullah.[3]
b.
Periwayatan Maknawi
Sebagian
ulama berpendapat bahwa periwayatan hadis tidak hanya dengan lafal, ada yang
membolehkan periwayatan hadis dengan makna, yang artinya periwayata hadis yang
matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah, tetapi isi atau
maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkaan oleh
Rasulullah.[4] Tidak sama dengan Al Qur’an[5] yang tidak boleh diriwayatkan
dengan makna. Hadis merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW.,
baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau.[6]
Sehingga dengan demikian periwayatan hadis dengan makna diperbolehkan dengan
ketentuan apabila tidak mungkin meriwayatkannya dengan lafaz dan orang yang
meriwayatkan itu mengetahui apa yang ditunjuk oleh lafaz Nabi dan
bahasanya.
Golongan
yang membolehkan ini beralasan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin
Sulaiman yang mengatakan ia bertanya kepada Rasul, yang artinya: “Hai
Rasulullah, sesungguhnya saya mendengar hadis darimu tetapi saya tak sanggup
meriwayatkannya menurut apa yang saya dengaryang bisa menambah atau
menguranginya barang sehuruf. Maka nabi bersabda : Apabila engkau tidak sampai
menghalalkan yang haram dan tidak sampai mengharamkan yang halal serta
maknanya tepat, maka hal itu taka pa-apa.” [7]
Meskipun
demikian, para sahabat sangat berhati-hati dalam melaksanakannya. Ibnu Mas’ud
misalanya, ketika ia meriwayatkan hadis, ia menggunakan term-term tertentu
untuk mengutkan penukilannya, seperti dengan kata qala rasulullah Shallahu
alaihi wasallam hakadza (rasulullah SAW. Telah bersabda begini) atau qala
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam qariban min hadza.[8]
Dalam
perkembangannya periwayatan hadis dengan makna mengakibatkan munculnya
hadis-hadis yang redaksinya antar satu hadis dengan hadis lainnya berbeda-beda,
meskipun makssudnya dan maknanya tetap sama. Hal ini sangat bergantung kepada
para sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut.
Sehingga hal ini menimbulkan pro kontra diantara para ulama.
B.
Pro Kontra
Periwayatan Hadis Dengan Makna
Sejarah
mencatat bahwa periwayatan hadis dengan makna telah terjadi secara
besar-besaran, namun ada perbedaan pendapat mengenai konsekuensi-kosekuensi riwayah
seperti ini bagi literature hadis. Yang menjadi persoalannya adalah apakah
periwayatan hadis dengan makna telah menyebabkan terjadinya kerusakan pada
hadis, dan juga pada Islam atau tidak?. Sebab hadis menjadi sandaran
hukum dalam Islam setelah Al-Qur’an. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pro
kontra diantara ulama terhadap periwayatan hadis dengan makna.
Rasyid Ridha[9], ia
sangat menentang sikap yang menerima begitu saja sebagian riwayat yang isinya
terkesan aneh bagi dirinya. Salah satu argumennya untuk tidak mudah menerima sebagian
hadis ini di dasarkan pada kekawatirannya terhadap riwayah bil-ma’na, karena
menurutnya kebanyakan perawi hanya meriwayatkat hadis-hadis yang mereka pahami
saja, dan terkadang pemahamannya ternyata tidak memadahi.[10]
Sedangkan
menurut pendapat Abu Rayyah, riwayah bil-ma’na menyebabkan hilangnya
literature hadis yang tak mungkin diperoleh lagi. Ia menegaskan lagi bahwa
sangat salah jika beranggapan kalau para perawi adalah kelompok eksklusif
terkemuka yang tidak mungkin mengubah sepatah katapun, menambahi sedikitpun,
bahkan lupa terhadap matan hadis yang sesuai didengarnya dari Rasulullah. Ia
mencontohkan hadis yang berkaitan tentang tasyahhud, menurutnya ada
delapan hadis berbeda yang menyangkut masalah tasyahhud diajarkat oleh
Nabi kepada delapan sabahat, diantara sahabat tersebut adalah Umar, Abdullah
bin Mas’ud, Ibn ‘Abbas, dan ‘Aisyah. Namun yang dianggap paling otoritatif
adalah versi Abdullah bin Mas’ud yang berbunyi : “Dengan tanganku di tangannya,
Rasul Allah mengajarkan kepadaku tasyahhud, ketika Rasul mengajarkanku
surat-surat Al-Qur’an: at-tahiyatu lillah wash-shalatu wath-thayyibat
-as-salamu ‘alaika ayyuhan-nabi wa-rahmat Allah wa-barakatuh -as-salamu ‘alaina
wa-‘ala ‘ibada Allah ash-shalihin -asy-hadu an la ilaha illa Allah -wa-asyhadu
anna Muhammadan ‘abduhu wa-rasuluh”[11].
Mengenahi
tasyahhud ini menerut Abu Rayyah semua versi memiliki perbedaan untuk
baris-baris pertama tasyahhud, yakni sebelum kata asyhadu. Ia
menyatakan, fakta bahwa bagian pokok shalat ini sedemikian terdistorsi,
seharusnya permasalahan tasyahhud ini tidak mengalami perbedaan sampai
sekarang, sebab hal ini telah dipraktikkan terus-menerus oleh kaum muslim dari
dulu hingga sekarang. Namun dengan adanya riwayah bil-ma’na inilah yang
menyebabkan adanya perbedaan versi tasyahhud.
Pendapat Abu
Rayyah ini telah dibantah oleh Hamzah[12], menurutnya Abu Rayyah tidak
memperhatikan konsep tanawwu’ al-‘ibadah (konsep
keanekaragaman ibadah) yang dimasukkan ke dalam Islam oleh Ibn Taimiyyah.
Konsep ini memperlihatkan kearifan yang menjadikan landasan semua peraturan
Sang pemberi hukum. Misalnya, seseorang bebas memilih dari tujuh cara membaca
Al-Qur’an (al-qira’ah as-sab) yang menurutnya paling mudah atau ia
senangi. Begitu pula dengan tasyahhud, tidak dipermasalahkan perbedaan
bacaan tasyahhud selama syahadah-nya (kesaksian bahwa Allah itu
Esa dan Muhammad itu Nabi-Nya) tetap terjaga, sebab Rasulullah-pun telah
mengajarkan banyak bacaan yang berbeda, namun secara subtansial hanya
mengandung satu makna (syahadah)[13].
Ia membenarkan pendapat Abu Rayyah bahwa membaca tasyahhud merupakan praktik
yang senantiasa dilakukan kaum muslimin, namun menurutnya hal itu tidak
diucapkannya dengan keras, dari sinilah setiap orang boleh memilih bacaannya
sendiri.
Selain Abu Rayyah, diantara ulama
yang menolak riwayah bil-ma’na ialah Ibnu Sirin, Abu Bakar al-Razi[14],
secara garis besar ulama-ulama berpendapat bahwa riwayah bil-ma’na
jurtru akan merusak maksud dari matan hadis dan juga seorang perawi bukanlah
sekelompok eksklusif yang tidak menutup kemungkinan mengurangi atau menanmbahi,
lupa, lemah ingatanya dalam meriwayatkan hadis. Sedangkan ulama yang
membolahkan seperti Ibnu Mas’ud, boleh apabila dalam keadaan darurat karena
tidak hafal persis seperti yang diwurutkan Rasulullah, dan harus dengan
hati-hati. Sebagian ulama yang lain adalah ulama salaf, ulama khalaf di bidang
hadis, fiqh dan ushul fiqh seperti imam empat dengan ketentuanya:pertama,
bahwa seorang perawi harus memiliki pengetahuan bahasa arab secara mendalam. Kedua,
seorang perawi harus mengetahui perubahan makna bila terjadi perubahan
lafal.
C.
Contoh
Periwayatan Hadis Dengan Lafal Dan Makna
Contoh hadis riwayah bil-lafzhi
من كذب علي متعمدا فليتبوء مقعده من ا
لنار
Hadis ini
menurut Al-Imam abu Bakar As-Sairi telah diriwayatkan secara marfu’ oleh
lebih dari enam puluh sahabat. Tetapi menurut sebagia ahli huffaz, hadis ini
diriwayatkan enam puluh dua sahabat. Sedangkan menurut sebagian ulama
menyatakan dua ratus sahabat yang telah meriwaytakan hadis ini. Berbeda dengan
pendapat Abu Al-Qasim Ibnu Manduh yang mengatakan delapan puluh lebih periwayat
hadis ini. Ini artinya dari beberapa pendapat yang ada, dapa tkita simpulkan bahwa
hadis ini telah disepakati sebagai hadis riwayah bil-lafzhi. Meskipun
jumlah periwayatnya sangat banyak, namun telah diketahui tidak ada perbedaan
periwayatan lafalnya.[15]
نزل ا لقران على سبعة اْ حرف
Hadis ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Turmidzi. Dan juga dua puluh tujuh sahabat
yang lain tanpa mengalami pergeseran lafal sedikitpun.[16]
Contoh hadis riwayah bil-ma’na
فعن عو ف بن ما لك ر ضي ا لله عنه قا
ل قا ل ر سو ل ا لله صلى ا لله عليه و سلم : "ا فتر قت ا ليهو د على
احد ى و سبعين فر قة فو ا حد ة في ا لجنة و سبعو ن في ا لنار, وافتر قت النصارى
على ثنتين وسبعين فرقةفاحدى وسبعين فرقة في الناروواحدةفي الجنة, والذي نفس
محمدبيده لتفترقن امتي على ثلاث وسبعين فرقة, واحدةفي الجنةواثنتان وسبعون في
النار" قيل:يارسوالله,من هم؟قال:"الجماعة"[17] (رواه ابن ماجه)[18]
عن عبد الله بن عمرو: "ا
فتر قت ا ليهو د على احد ى و سبعين فر قة فو ا حد ة في ا لجنة و سبعو ن في ا لنار,
وافتر قت النصارى على ثنتين وسبعين فرقةفاحدى وسبعين فرقة في الناروواحدةفي الجنة,
والذي نفس محمدبيده لتفترقن امتي على ثلاث وسبعين فرقة, واحدةفي الجنةواثنتان
وسبعون في النار". قلوا: ومن هي يارسول الله؟ قا ل:
"ما انا عليه واصحابي"[19]. (رواه
الترمذي)[20]
Daftar Pustakanya kok nggak disebutkan?
BalasHapus