KURIKULUM DAN SISTEM PEMBELAJARAN DI PONDOK PESANTREN
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliyah: Manajemen Pendidikan diniyah dan pesantren
Dosen
Pengampu: Dr. H. Fatah Syukur NC, M.Ag.

Disusun
oleh:
Irrodhatus
Salamah (133311035)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
DAN KEGURUAN
INSTITUS AGAMA ISLAM NEGERI
WALISONGO SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Pesantren sebagai lembaga pendidikan islam di
Indonesia yang pada umumnya menyelenggarakan berbagai satuan pendidikan , baik
dalam bentuk sekolah maupun dalam madrasah, juga seyogianya menjadikan prinsip
pengembangan kurikulum yang bermuatan nilai-nilai multicultural tersebut dalam
kegiatan perencanaan, implementasi, dan evaluasi kurikulumnya. Namun dalam
praktknya, butir ini tidak mudah dilakukan oleh pesantren terutama pesantren
tradisional (salafiyah). Bagi
pesanten tradisional, kegiatan perencanaan, implementasi, dan evaluasi
kurikulum merupakan kegiatan yang belum popular dikalangan pengelola pesantren.
Kegiatan pendidikan di pesantren tradisional pada umumnya merupakan hasil
improvisasi dari seorang kiai secara intuitif yang disesuaikan dengan perkembangan
pesantrennya. Dengan demikian, pengembangan kurikulum pesantren tradisional
sangat ditentukan oleh seorang kiai, sehingga nilai-nilai multikultural
terutama nilai demokrasi dan keadilan agaknya tidak ditemukan dalam
pengembangan kurikulum pesantren tradisional.
II.
RUMUSAN
M ASALAH
A. Apa
pengertian kurikulum pesantren?
B. Bagaimana
pengembangan kurikulum pesantren?
C. Apa
program pendidikan dan kurikulum pesantren?
D. Bagaiman
evaluasi kurikulum pesantren?
III.
PEMBAHASAN
A. Pengertian kurikulum pesantren
David Pratt mendefinisikan
kurikulum sebagai an organized set or formal educational and or training
intention. Dari definisi tersebut dapat di pahami bahwa kurikulum pada dasarnya
merupakan seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga
pendidikan dalam mewujudkan tujuan yang diinginkan. Dengan demikian, kurikulum
melingkupi: tujuan, materi pelajaran, metode, dan evaluasi. Sebagai lembaga
pendidikan, pesantren juga telah memuat hal-hal tersebut.
Sebagaiman
telah disebutkan sebelumnya, tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk
kepribadian santri, memantapkan akhlak dan melengkapinya dengan ilmu
pengetahuan . materi pelajaran pesantren kebanyakan bersifat keagamaan yang
bersumber pada kitab-kitab klasik yang meliputi sejumlah bidang studi, antara
lain : tauhid,tafsir, hadits, fiqih, ushul- fiqih, tasawuf, bahasa Arab, (
nahwu, sharaf, balaqhah, tajwid), mantiq, dan akhlak.[1]
Studi-studi
tentang pesantren tidak menyebut kurikulum yang baku dikalangan pesantren. Hal
ini dapat di pahami karena pesantren sesungguhnya merupakan lembaga pendidikan
islam di Indonesia yang bebas dan otonom. Dari segi kurikulum, pesantren selama
ini diberi kebebasan oleh Negara untuk menyusun dan melaksanakan kurikulum
pendidikan secara bebas dan merdeka. Namun demikian, jika dilihat dari
studi-studi tentang pesantren diperoleh bentuk-bentuk kurikulum yang ada di
kalangan pesantren. Menurut Lukens Bull, secara umum kurikulum pesantren dapat
dibedakan menjadi empat bentuk, yaitu: (1) pendidikan agama, (2) pengalaman dan
pendidikan moral, (3) sekolah dan pendidikan umum, serta (4) keterampilan dan
kursus. Keempat bentuk kurikulum pesantren itu adalah:
a)
Kurikulum berbentuk pendidikan agama
islam. Dalam dunia pesantren, kegiatan belajar pendidikan agama islam lazim
disebut dengan ngaji atau pengajian. Kegiatan ngaji dipesantren dalam
praktiknya dapat dibedakan menjadi dua tingkatan. Tingkatan paling awal ngaji
sangatlah sederhana, yaitu santri belajar bagaimana cara membaca teks-teks
Arab, terutama sekali al-Qur’an. Tingkat berikutnya adalah para santri memilih
kitab-kitab islam klasik dan mempelajarinya di bawah bimbingan kiai. Adapun
kitab-kitab yang dijadikan bahan untuk ngaji meliputi bidang ilmu: fikih,
akidah, atau tauhid, nahwu, sharaf, balaghah, hadis, tasawuf, akhlak, dan ibadah-ibadah
shalat, doa, dan wirid.
b)
Kurikulum berbentuk pengalaman dan
pendidikan moral. Pesantren menempatkan pengalaman dan pendidikan moral sebagai
salah satu kegiatan pendidikan penting di pesantren. Kegiatan-kegiatan
keagamaan yang paling ditekankan di pesantren adalah kesalehan dan komitmen
para santri terhadap lima rukun islam: syahadat (keimanan), shalat, zakat,
puasa, dan haji ke mekah bagi yang mampu. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan
dapat menumbuhkan kesadaran para santri untuk mengamalkan nilai-nilai moral
yang diajarkan pada saat ngaji. Adapun nilai-nilai moral yang ditekankan di
pesanten adalah persaudaraan islam, keiklasan, kesederhanaan. Dan kemandirian.
Para santri mempelajari moralitas saat mengaji dan kemudian diberi kesempatan
untuk mempraktikkan. Dalam kaitan ini, Lukens Bull menulis sebagai berikut:
“sebagai contoh, shalat lima kali
sehari adalah kewajiban dalam islam, tetapi kadang belum menekankan pada
pentingnya berjama’ah. Bagaimanapun, berjama’ah dianggap sebagai cara yang
lebih baik dalam shalat dan pada umumnya diwajibkan dipesantren. Sebuah
pesantren yang tidak mewajibkan shalat berjama’ah dianggap bukan lagi pesantren
yang sebenarnya. Para kiai mengatakan bahwa praktik jama’ah ini mengajarkan
persaudaraan dan kebersamaan, yaitu nilai-nilai yang harus ditumbuhkan dalam
masyarakat islam. Jika jama’ah sekali dalam seminggu dalam shalat jum’at akan
membentuk masyarakat yang solid, maka berjama’ah tiap hari akan memperkuat tali
persaudaraan.”
c)
Kurikulum berbentuk sekolah dan
pendidikan umum. Pesanten memperlakukan kurikulum sekolah dengan mengacu kepada
pendidikan nasional yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional,
sedangkan untuk kurikulum madrasah mengacu pada pendidikan agama yang
dikeluarkan oleh Departemen Agama. Jika dilihat dari rasio pendidikan umum dan
pendidikan agama yang termuat di dalamnya, maka dapat dikatakan bahwa kurikulum
sekolah cenderung sekuler. Dikatakan cenderung sekuler, karena dari keseluruhan
total jam pelajaran yang ada, kurikulum sekolah hanya memberikan 2 jam
pelajaran agama untuk setiap minggunya. Hal ini tentu berbeda dengan kurikulum
madrasah yang memuat 70% untuk pendidikan agama dan 30% sisanya untuk
pendidikan umum. Karena itu, kurikulum madrasah dapat dikatakan sebagai
kurikulum yang memadukan antara yang sekuler dan yang agamis.
d)
Kurikulum berbentuk keterampilan dan
kursus. Pesantren memperlakukan kurikulum yang berbentuk ketrampilan dan
kursussecara terencana dan terprogram melalui kegiatan ektrakurikuler. Adapun
kursus yang popular dikalangan pesantren adalah bahasa inggris, komputer, setir
mobil, reparasi sepeda motor dan mobil, jahit-menjahit, kewirausahaan,
pengelasan, dan pertanian. Kurikulum ini diberlakukan di pesantren Karena dua
alas an yaitu: alas an politis dan promosi. Dari segi politis, pesantren yang
memberikan pendidikan keterampilan dan kursus kepada para santrinya berarti
merespons seruan pemerintah untuk peningkatan kemampuan sumber daya manusia
(SDM). Hal ini berarti hubungan pesantren dengan pemerintah cukup harmonis.
Sementara itu, dari segi promosi terjadi peningkatan jumlah calon santri yang
memilih pesantren-pesantren modern dan terpadu, dengan alas an karena ada
pendidikan ketrampilan dan kursus bagi para santrinya dengan cepat akan menjadi
tidak terkenal. Hal ini dapat dipahami karena kecenderungan masyarakat berharap
agar produk akhir dari pesantren adalah para alumni yang pandai ilmu agama,
bermoral, dan memiliki skill untuk masa depan mereka.[2]
B. Pengembangan kurikulum pesantren
Salah satu dasar pengembangan kurikulum
pesantren adalah visi dan misi yang di milikinya. Adapun visi yang dijadikan
dasar dalam pengembangan kurikulumnya adalah: “terwujudnya insan yang memiliki
keseimbangan spiritual, intelektual dan moral menuju generasi ulul albab yang berkomitmen tinggi
terhadap kemajuan umat dengan berlandaskan al-Qur’an dan al-Sunnah”. Visi
tersebut diperkuat dengan kittah yang mencakup 5 (lima) macam. Yaitu: (1)
memotivasi santri agar islam selalu mampu memberikan jawaban secara handal
terhadap tantangan kehidupan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan
masyarakatnya, (2) memaduakn secara harmonis tradisi pesantren dengan sistem
pendidikan persekolahan mutakhir, (3) mengubah citra negative terhadap pondok
pesantren, (4) menjadiakn pesantren sebagai lembaga yang memiliki kredibilitas
dalam bidang pendidikan islam, (5) menjadikan pesantren sebagai pusat
pendidikan perdamaian dengan pemerintah, umat islam, masyarakat luas, dan
pemeluk non-islam.
Untuk mencapai visi tersebut pesantren
merumuskan secara detail yaitu terdiri dari lima macam yaitu:
1.
Menyelenggarakan proses pendidikan islam
yang berorientasi pada mutu, berdaya saing tinggi, dan berbasis pada sikap
spiritual, intelektual, dan moral.
2.
Mengembangkan pola kerja pondok
pesantren dengan berbasis pada manajemen professional yang islami.
3.
Menciptakan suasana kehidupan yang
tertib, aman, dan damai serta penuh keteladanan.
4.
Meningkatkan citra positif lembaga
pendidikan pondok pesantren yang berwawasan sains dan teknologi informasi serta
berbudaya islam.
5.
Meenyelenggarakan usaha-usaha kaderisasi
untuk kemajuan umat menuju masyarakat madani.
Misi yang memuat lima poin di atas
dijadikan dasar untuk merumuskan tujuan pesantren adalah: (1) membentuk
kader-kader ulul albab yang ikut
aktif dalam usaha amar ma’ruf nahy munkar. (2) mengembangkan sikap
hidup modern berdasar al-Qur’an dan al-Sunnah al-Magbulah dalam keiklasan,
kedisiplinan, ketertiban, kebersihan, kedamaian, dan keteladanan, serta (3)
menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi.[3]
Lebih jauh, kejelasan visi dan misi
sebagaiman dikemukan diatas akan mempermudah pesantren untuk menentukan profil
para santri. Profil para santri harus mempunyai lima dasar, yaitu (1) santri
memiliki wawasan ilmu pengetahuan yang luas, (2) santri yang ber tafaqquh fi
al-din (3) santri yang memiliki akhlaq al- Karimah (4) santri yang memiliki
kesiapan ber-jihad fi sabilillah, dan (5) santri ang berdiri di atas semua
golongan.
seiring dengan tuntutan zaman dan laju
perkembangan masyarakat, pesantren yang pada dasarnya didirikan untuk
kepentingan moral, pada akhirnya harus berusaha memenuhi tuntutan masyarakat
dan tuntutan zaman. Orientasi pendidikan pesantren perlu diperluas, sehingga
menuntut dilakukannya pembaharuan kurikulum yang berorientasi kepada kebutuhan
zaman dan pembangunan bangsa. Oleh karena itu pesantren melakukan sejumlah
akomodasi dan penyesuaian yang tidak hanya akan mendukung kelangsungan hidup
pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem
penjenjangan kurikulum yang lebih jelas dan sistem klasikal.
Sifat adaptif sebagaimana tersebut di atas
adalah sifat dasar kurikulum yang diperlukan untuk mengantisipasi tuntutan dan
perkembangan zaman. Paling tidak terdapat tiga dasar keyakinan yang kondusif
untuk dijadikan sebagai landasan akan pentingnya memperhatikan sikap adaptif
kurikulum terhadap suatu perubahan yang terjadi yaitu: Pertama, perubahan yang
terjadi bersifat positif; Kedua, perubahan yang terjadi dilingkungan sekolah
sifatnya cenderung menetap (terus menerus); Ketiga, perlunya usaha untuk
menyempurnakan rencana-rencana yang disusun oleh sekolah atau guru karena
terjadinya proses adopsi terhadap suatu pembaharuan atau inovasi.
Pesantren-pesantren
yang masih dalam bentuk aslinya (tradisional), biasanya cenderung mengikuti
pola pemahaman tekstual. Sedangkan di pesantren-pesantren yang sudah
terpengaruh dengan pola pendidikan modern, arti tekstual telah diimbangi oleh
pemahaman-pemahaman kontekstualnya. Perkembangan seperti ini cukup kondusif
untuk menopang proses inovasi, apa lagi dikaitkan dengan usaha-usaha untuk
membuktikan kebaikan inovasi itu sendiri di dalam sistem kehidupan
masyarakatnya.[4]
C. Program Pendidikan dan Kurikulum Pesantren
Pendidikan
pondok pesantren merupakan usaha sistematis untuk mengembangkan potensi
spiritualitas dan ta’abbudiyah santri dalam rangka mewujudkan profil santri
yang memiliki akhlak mulia (akhlaq karimah). Untuk pentingan ini, pendidikan
pondok diselenggarakan dalam 3 bentuk kegiatan, yaitu: kegiatan kurikuler,
kegiatan kokurikuler, dan kegiatan ekstra-kurikuler.
Kegiatan kurikuler ditekankan pada aspek
kognitif karena diselenggarakan melalui model kurikulum persekolahan,
ko-kurikuler pada aspek afektif karena diselenggarakan melalui model pengalaman
hidup, dan ekstra-kurikuler pada pesikomotorik karena diselenggarakan melalui
model pendidikan keterampilan.
Adapun kegiatan ko-kurikuler pondok
dimaksudkan sebagai suatu kegiatan pendidikan yang mendukung kegiatan
kurikuler. Kegiatan ini diselenggarakan pada waktu pagi dan malam hari.
Sebagaimana kegiatan kurikuler, untuk kegiatan ko-kurikuler juga diberikan
dalam bentuk mata pelajaran seperti: (1) Qira’at al-Qur’an, (2) al-Muhadarah,
(3) Tazwid wa Tasyji’ al-Lughah, (4) al-Muhadathah, (5) Qira’at al-Kitab.
Perlu ditambahkan bahwa mata pelajaran
al-muhadarah merupakan mata pelajaran yang bertujuan untuk melatih santri agar
terampil berpidato
baik dalam bahasa Indonesia, arab, maupun
Inggris, adapun mata pelajaran Tazwid wa Tasji’ al-Lughah merupakan mata
pelajaran yang secara khusus membekali santri memiliki keterampilan berbahasa
Arab maupun Inggris. Sedangkan mata pelajaran Qira’at al-kitab adalah mata
pelajaran yang diberikan kepada santri untuk membekali keterampilan membaca
kitab-kitab islam klasik, yang lazim dikenal dengan kitab kuning.
Kegiatan lain yang mengandung unsur
pendidikan adalah kegiatan makan di kantin: pada makan pagi, makan siang, dan
makan malam. Pada kegiatan ini, setiap santri harus siap antri untuk memperoleh
nasi, lauk-pauk, dan minuman dari petugas. Mereka makan bersama dan berbaur
dengan kakak adik kelas yang berasal dari berbagai daerah. Ditengah-tengah
mereka, ada beberapa ustadz yang turut makan bersama. Berkaitan dengan ini,
seorang ustadz mengatakan bahwa makan bersama dengan para santri ini
dimaksudkan untuk menjalin hubungan yang sedekat mungkin antara ustadz dengan
para santri. Ustadz lain menambahkan bahwa para ustadz disini menempatkan diri
mereka sebagai bapak atau ayah dari para santri. Hal ini harus dilakukan dengan
alasan karena mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia yang jauh dari
keluarga. Dengan makan bersama ini, diharapkan mereka merasa seperti dalam satu
keluarga yang ada di rumah. Pemandangan serupa juga terjadi di kantin putri,
seorang ustadzah mengatakan bahwa kebersamaan antara ustadzah dan santri dalam
kegiatan makan sehari-hari ini merupakan keharusan moral bagi seorang pengasuh.
Ia menyebutkan alasan bahwa bahwa dengan makan bersama ini para santi dapat
melihat bahwa dari segi makan tidak ada perbedaan antara ustadzah dan santri.
Para ustadzah memakan jenis makanan yang sama dengan jenis makanan yang dimakam
oleh para santri. Dan ini adalah salah satu pembelajaran yang berharga bagi
para santri.
Shalat jama’ah di masjid untuk
waktu-waktu shalat wajib juga sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran di
pesantren, dalam kegiatan shalat berjama’ah terdapat beberapa pendidikan
berharga bagi para santri, seperti kedisiplinan, ketertiban, dan kebersamaan.
Dalam berjama’ah kiai membuat peraturan kepada santri yang dikenal sebagai
TIBSAR (tata tertib dasar santri), dalam peraturan tersebut terdapat bagian
yang mengatur tentang ibadah santri, yang meliputi lima macam, kelima peraturan
tersebut adalah: (1) santri diwajibkan shalat lima waktu berjama’ah tepat pada
waktu dan tempat yang telah di tentukan, (2) santri ditekankan telah berada di
dalam masjid sebelum adzan di kemandangkan, (3) santri diwajibkan berdzikir
setiap selesai shalat fardhu, (4) santri ditekankan mendirikan shalat sunnat
sesuai dengan syari’at, dan (5) santri wajib mendirikan shalat tarawih pada
bulan Ramadhan dengan berjama’ah ditempat yang telah di tentukan.
Bentuk pendidikan pondok yang terakhir
adalah kegiatan ekstra-kurikuler, yaitu kegiatan pendidikan yang berusaha untuk
mengembangkan potensi bakat dan minat para santri, baik dalam bidang olahraga,
keterampilan, maupun seni. Kegiatan ektra-kurikuler yang berbentuk klub-klub
kegiatan ini diselenggarakan pada waktu sore dan jum’at pagi. Adapun yang
termasuk bidang olahraga adalah: bela diri, sepak bola, renang, bulu tangkis,
sepak takrau, dan bola voli. Sedangkan yang termasuk bidang keterampilan
adalah: tulis indah kaligrafi (khat), menjahit dan merakit komputer. Terakhir,
yang termasuk bidang seni adalah nasyid, rebana, akustik, teater atau drama.
Bagi para santi, kegiatan ekstra kurikuler ini dapat dipilih secara bebas
sesuai dengan minat dan kecenderungan masing-masing santri. Dalam praktiknya,
setiap bidang bakat dan minat di atas difasilitasi oleh seorang ustadz, guru
atau pelatih. Selain menyediakan ustadz, guru atau pelatih juga menyediakan
fasilitas-fasilitas yang diperlukan seperti tempat dan berbagai jenis
peralatan. Untuk bidang olahraga, tempat kegiatan dipusatkan di lapangan, GOR,
dan tempat-tempat terbuka lainnya seperti di sekitar masjid dan halaman
pesantren. Sementara itu, untuk bidang keterampilan dan kesenian mengambil
tempat di ruang keterampilan dan ruang-ruang kelas yang ditunjuk. Dari segi
tempat, ada pemisahan antara santri putra dan putrid.
Dengan pendidikan pondok sebagaimana yang
di deskripsikan di atas, output yang
diharapkan adalah (1) santri mampu menghafal al-Qur’an sekurang-kurangnya 3
jus, yaitu 1,2, dan 30, (2) santri mampu membaca al-Qur’an dengan tartil, (3)
santri mampu menjadi imam dan khatib, (4) santri mampu berkomunikasi dalam
bahasa Arab atau bahasa Inggris, (5) santri mampu membuat teks pidato minimal
dalam dua bahasa: Arab dan Inggris, (6) santri memiliki badan sehat, jiwa
mandiri, ikhlas, sederhana, dan ukhuwwah islamiyah serta kepemimpinan, (7)
santri memiliki aqidah salimah, akhlaq karimah, dan ibadah sahihah, (8) santri
menguasai dasar-dasar ilmu sosial dan alam, dan (9) santri memiliki dasar-dasar
aplikasi komputer.[5]
D.
Evaluasi
Kurikulum Pesantren
Evaluasi
kurikulum pondok dilakukan untuk mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan
pendidikan dan profil santri. Selain itu, evaluasi kurikulum pondok juga
dimaksudkan untuk memperbaiki bagian-bagian yang memerlukan perbaikan. Kegiatan
evaluasi kurikulum pondok ini dikoordinasikan oleh bagian kurikulum dan
sekretariat pondok. Bagian kurikulum bertugas mengumpulkan dan mengkaji laporan
dan masukan yang diberikan oleh para pengasuh, para santri, dan para orang tua
santri. Secretariat pondok bertugas memfasilitasi pembahasan tentang laporan
dan masukan yang telah dikaji oleh bagian kurikulum.
Dalam
hal evaluasi, keberhasilan, keberhasilan belajar dipesantren ditentukan oleh
penampilan kemampuan mengajarkan kitab kepada orang lain. Artinya jika
audiennya puas, berarti santri tersebut telah lulus, sehingga legitimasi
kelulusannya adalah restu kiai. Bentuk sisitem evaluasi lainnya adalah
selesainya pengajian suatu kitab di pesantren dalam waktu tertentu, lalu di
berikan ijazah yang bentuknya adalah santri harus siap membaca kitab
sewaktu-waktu kiai memanggilnya untuk membaca kitab tersebut. Dalam hal ini
biasanya santri yang cerdas akan di minta kiai sebagai pengantinya ( badal).
Selain
dua bentuk evaluasi diatas, sisitem evaluasi pesantren lebih ditekankan pada kemampuan
santri dalam mentransformasikan nilai ajaran agama melalui ilmu dari pesantren
di masyarakat. Hal ini akan memungkinkan adanya evaluasi diri ( self
evaluation) sehingga memungkinkan penilaian obyektif dengan cara santri
menggukur sendiri prestasi belajar. Dari gambaran diatas, dapat diketahui bahwa
sistem evaluasi di pesantren belum dilakukan secara formal.
Selain
unsur-unsur yang telah disebutkan diatas, yaitu asrama santri (pondok dan
masjid). Pondok merupakan unsure penting karena fungsinya sebagai tempat
tinggal atau asrama santri, sekaligus untuk membedakan apakah lembaga tersebut
layak dinamakan pesantren atau tidak. Menginggat,terkadang sebuah masjid atau
bahkan mushola, setiap saat rame dikunjungi oleh kalangan mereka yang
bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu agama, akan tetapi tempat tersebut tidak
dikenal sebagai pesantren lantaran tidak memiliki bangunan pondok atau asrama
santri.
Bangunan
pada setiap pondok pesantren berbeda-beda, baik kualitas maupun kelengkapanya.
Ada yang didirikan atas biaya kiai, kegotong-royongan para santri, sumbangan
warga masyarakat, dan sumbangan dari pemerintah. Tetapi dalam tradisi pesantren
yang umum, yaitu kiai yang memimpin pesantren biasanya mempunyai kewenangan dan
kekuasaan mutlak atas pembangunan dan pengelolahan pondok.
Ada
tiga alasan utama kenapa pesantren harus menyediakan pondok bagi para santrinya. Pertama, kemasyuran kyai dan
kedalaman pengetahuanya tentang islam menarik santri dari jauh untuk dapat
menggali ilmu dari kiai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama. Para
santri harus meninggalkan kampong halamanya dan menetap di dekat kediaman kyai.
Kedua, hampir semua pesantren berada
di desa-desa yang tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk
menampung santri, dengan demikian perlu adanya suatu asrama yang khusus bagi
para santri. Ketiga, ada sikap timbal
balik antara kyai dan santri, di mana para santri menganggap kyainya
seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kyai menganggap santri sebagai
titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi. Sikap timbale balik ini
menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan terus menerus.
Sistem
pondok ini bukan saja merupakan elemen penting dari tradisi pesantren, tetapi
juga menopang utama untuk dapat terus berkembang. Meskipun keadaan pondok
sangat sederhana dan penuh sesak, santri yang berasal dari pedesaan dan baru
pertama kali meninggalkan desanya untuk melanjutkan pelajaran di suatu wilayah
yang baru itu tidak perlu mengalami kesukaran dalam tempat tinggal atau penyesuaian
diri dengan lingkungan sosial yang baru.[6]
Di
samping pondok, pesantren juga mempunyai masjid . seorang kyai yang ingin
mengembangkan sebuah pesantren biasanya perama-tama akan mendirikan masjid di
dekat rumahnya. Langkah ini biasanya di ambil atas perintah gurunya yang telah
menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah pesantren. Karena itu, kedudukan
masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi
universalisme dari sistem pendidikan islam tradisional.
Dalam
sistem pesantren, masjid merupakan unsure dasar yang harus dimiliki karena ia
merupakan tempat utama yang ideal untuk mendidik dan melatih para santri,
khususnya dalam melaksanakan tata cara ibadah, pengajaran kitab-kitab islam
klasik, dan kegiatan masyarakat. Masjid pesantren biasanya dibangun dekat
kediaman kyai dan berada di tengah-tengah komplek pesantren.
Masjid
disamping berfungsi sebagai tempat ritual juga berfungsi sebagai tempat
pembelajaran. Sebelum adanya madrasah di pesantren, masjid adalah tempat pembelajaran
umum. Bahkan masjid berfungsi juga sebagai tempat diskusi dan musyawarah antara
kyai dan santri.[7]
IV.
KESIMPULAN
kurikulum pada dasarnya merupakan seperangkat
perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan
tujuan yang diinginkan. Dengan demikian, kurikulum melingkupi: tujuan, materi
pelajaran, metode, dan evaluasi. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga
telah memuat hal-hal tersebut.
seiring dengan tuntutan zaman dan laju
perkembangan masyarakat, pesantren yang pada dasarnya didirikan untuk
kepentingan moral, pada akhirnya harus berusaha memenuhi tuntutan masyarakat
dan tuntutan zaman. Orientasi pendidikan pesantren perlu diperluas, sehingga
menuntut dilakukannya pembaharuan kurikulum yang berorientasi kepada kebutuhan
zaman dan pembangunan bangsa. Oleh karena itu pesantren melakukan sejumlah
akomodasi dan penyesuaian yang tidak hanya akan mendukung kelangsungan hidup
pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem
penjenjangan kurikulum yang lebih jelas dan sistem klasikal.
Sifat adaptif sebagaimana tersebut di atas
adalah sifat dasar kurikulum yang diperlukan untuk mengantisipasi tuntutan dan
perkembangan zaman. Paling tidak terdapat tiga dasar keyakinan yang kondusif untuk
dijadikan sebagai landasan akan pentingnya memperhatikan sikap adaptif
kurikulum terhadap suatu perubahan yang terjadi yaitu: Pertama, perubahan yang
terjadi bersifat positif; Kedua, perubahan yang terjadi dilingkungan sekolah
sifatnya cenderung menetap (terus menerus); Ketiga, perlunya usaha untuk
menyempurnakan rencana-rencana yang disusun oleh sekolah atau guru karena
terjadinya proses adopsi terhadap suatu pembaharuan atau inovasi.
Pendidikan pondok pesantren merupakan
usaha sistematis untuk mengembangkan potensi spiritualitas dan ta’abbudiyah
santri dalam rangka mewujudkan profil santri yang memiliki akhlak mulia (akhlaq
karimah). Untuk pentingan ini, pendidikan pondok diselenggarakan dalam 3 bentuk
kegiatan, yaitu: kegiatan kurikuler, kegiatan kokurikuler, dan kegiatan
ekstra-kurikuler.
Dalam hal evaluasi, keberhasilan,
keberhasilan belajar dipesantren ditentukan oleh penampilan kemampuan
mengajarkan kitab kepada orang lain. Artinya jika audiennya puas, berarti
santri tersebut telah lulus, sehingga legitimasi kelulusannya adalah restu
kiai. Bentuk sisitem evaluasi lainnya adalah selesainya pengajian suatu kitab
di pesantren dalam waktu tertentu, lalu di berikan ijazah yang bentuknya adalah
santri harus siap membaca kitab sewaktu-waktu kiai memanggilnya untuk membaca
kitab tersebut. Dalam hal ini biasanya santri yang cerdas akan di minta kiai
sebagai pengantinya ( badal).
V.
PENUTUP
Demikian makalah ini
yang dapat penulis buat. Penulis menyadari dalam pembuatannya masih jauh dari
kata sempurna, karena masih banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah penulis selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aly, Abdullah. Pendidikan Islam Multikultural Di Pesantren. Yogyakarta: Pustaka
Belajar. 2011
Muthohar, Ahmad. Ideologi Pendidikan Pesantren. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
2007
http://makalahtentang.wordpress.com/2011/04/18/pengembangan-kurikulum-di-pesantren/
[2] Abdullah Aly. Pendidikan Islam
Multikulturum di Pesantren. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011). Hlm. 183-190
[3] Abdullah Aly. 2011. Hlm. 204-206
[4] http://makalahtentang.wordpress.com/2011/04/18/pengembangan-kurikulum-di-pesantren/
[5] Abdullah Aly, 2011. Hlm. 225-233
[6] Ahmad Muthohar, 2007. Hlm 29-31
[7] Ahmad Muthohar,2007. Hlm. 29-31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar