Kamis, 11 Juni 2015

KURIKULUM DAN SISTEM PEMBELAJARAN DI PONDOK PESANTREN



                          KURIKULUM DAN SISTEM PEMBELAJARAN                                          DI PONDOK PESANTREN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliyah: Manajemen Pendidikan diniyah dan pesantren
Dosen Pengampu: Dr. H. Fatah Syukur NC, M.Ag.
http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTP80Knr7J_1BnJeukzlRsBKm-fGaQTqMDPKKxO4h8fk_4gDDE1

Disusun oleh:
Irrodhatus Salamah  (133311035)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUS AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
                                                                       2014

I.                   PENDAHULUAN
             Pesantren sebagai lembaga pendidikan islam di Indonesia yang pada umumnya menyelenggarakan berbagai satuan pendidikan , baik dalam bentuk sekolah maupun dalam madrasah, juga seyogianya menjadikan prinsip pengembangan kurikulum yang bermuatan nilai-nilai multicultural tersebut dalam kegiatan perencanaan, implementasi, dan evaluasi kurikulumnya. Namun dalam praktknya, butir ini tidak mudah dilakukan oleh pesantren terutama pesantren tradisional (salafiyah). Bagi pesanten tradisional, kegiatan perencanaan, implementasi, dan evaluasi kurikulum merupakan kegiatan yang belum popular dikalangan pengelola pesantren. Kegiatan pendidikan di pesantren tradisional pada umumnya merupakan hasil improvisasi dari seorang kiai secara intuitif yang disesuaikan dengan perkembangan pesantrennya. Dengan demikian, pengembangan kurikulum pesantren tradisional sangat ditentukan oleh seorang kiai, sehingga nilai-nilai multikultural terutama nilai demokrasi dan keadilan agaknya tidak ditemukan dalam pengembangan kurikulum pesantren tradisional.
II.                RUMUSAN M ASALAH
A.    Apa pengertian kurikulum pesantren?
B.     Bagaimana pengembangan kurikulum pesantren?
C.    Apa program pendidikan dan kurikulum pesantren?
D.    Bagaiman evaluasi kurikulum pesantren?
III.             PEMBAHASAN
A.    Pengertian kurikulum pesantren
     David Pratt mendefinisikan kurikulum sebagai an organized set or formal educational and or training intention. Dari definisi tersebut dapat di pahami bahwa kurikulum pada dasarnya merupakan seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan yang diinginkan. Dengan demikian, kurikulum melingkupi: tujuan, materi pelajaran, metode, dan evaluasi. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga telah memuat hal-hal tersebut.
Sebagaiman telah disebutkan sebelumnya, tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk kepribadian santri, memantapkan akhlak dan melengkapinya dengan ilmu pengetahuan . materi pelajaran pesantren kebanyakan bersifat keagamaan yang bersumber pada kitab-kitab klasik yang meliputi sejumlah bidang studi, antara lain : tauhid,tafsir, hadits, fiqih, ushul- fiqih, tasawuf, bahasa Arab, ( nahwu, sharaf, balaqhah, tajwid), mantiq, dan akhlak.[1]
    Studi-studi tentang pesantren tidak menyebut kurikulum yang baku dikalangan pesantren. Hal ini dapat di pahami karena pesantren sesungguhnya merupakan lembaga pendidikan islam di Indonesia yang bebas dan otonom. Dari segi kurikulum, pesantren selama ini diberi kebebasan oleh Negara untuk menyusun dan melaksanakan kurikulum pendidikan secara bebas dan merdeka. Namun demikian, jika dilihat dari studi-studi tentang pesantren diperoleh bentuk-bentuk kurikulum yang ada di kalangan pesantren. Menurut Lukens Bull, secara umum kurikulum pesantren dapat dibedakan menjadi empat bentuk, yaitu: (1) pendidikan agama, (2) pengalaman dan pendidikan moral, (3) sekolah dan pendidikan umum, serta (4) keterampilan dan kursus. Keempat bentuk kurikulum pesantren itu adalah:
a)      Kurikulum berbentuk pendidikan agama islam. Dalam dunia pesantren, kegiatan belajar pendidikan agama islam lazim disebut dengan ngaji atau pengajian. Kegiatan ngaji dipesantren dalam praktiknya dapat dibedakan menjadi dua tingkatan. Tingkatan paling awal ngaji sangatlah sederhana, yaitu santri belajar bagaimana cara membaca teks-teks Arab, terutama sekali al-Qur’an. Tingkat berikutnya adalah para santri memilih kitab-kitab islam klasik dan mempelajarinya di bawah bimbingan kiai. Adapun kitab-kitab yang dijadikan bahan untuk ngaji meliputi bidang ilmu: fikih, akidah, atau tauhid, nahwu, sharaf, balaghah, hadis, tasawuf, akhlak, dan ibadah-ibadah shalat, doa, dan wirid.
b)      Kurikulum berbentuk pengalaman dan pendidikan moral. Pesantren menempatkan pengalaman dan pendidikan moral sebagai salah satu kegiatan pendidikan penting di pesantren. Kegiatan-kegiatan keagamaan yang paling ditekankan di pesantren adalah kesalehan dan komitmen para santri terhadap lima rukun islam: syahadat (keimanan), shalat, zakat, puasa, dan haji ke mekah bagi yang mampu. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran para santri untuk mengamalkan nilai-nilai moral yang diajarkan pada saat ngaji. Adapun nilai-nilai moral yang ditekankan di pesanten adalah persaudaraan islam, keiklasan, kesederhanaan. Dan kemandirian. Para santri mempelajari moralitas saat mengaji dan kemudian diberi kesempatan untuk mempraktikkan. Dalam kaitan ini, Lukens Bull menulis sebagai berikut:
           “sebagai contoh, shalat lima kali sehari adalah kewajiban dalam islam, tetapi kadang belum menekankan pada pentingnya berjama’ah. Bagaimanapun, berjama’ah dianggap sebagai cara yang lebih baik dalam shalat dan pada umumnya diwajibkan dipesantren. Sebuah pesantren yang tidak mewajibkan shalat berjama’ah dianggap bukan lagi pesantren yang sebenarnya. Para kiai mengatakan bahwa praktik jama’ah ini mengajarkan persaudaraan dan kebersamaan, yaitu nilai-nilai yang harus ditumbuhkan dalam masyarakat islam. Jika jama’ah sekali dalam seminggu dalam shalat jum’at akan membentuk masyarakat yang solid, maka berjama’ah tiap hari akan memperkuat tali persaudaraan.”
c)      Kurikulum berbentuk sekolah dan pendidikan umum. Pesanten memperlakukan kurikulum sekolah dengan mengacu kepada pendidikan nasional yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan untuk kurikulum madrasah mengacu pada pendidikan agama yang dikeluarkan oleh Departemen Agama. Jika dilihat dari rasio pendidikan umum dan pendidikan agama yang termuat di dalamnya, maka dapat dikatakan bahwa kurikulum sekolah cenderung sekuler. Dikatakan cenderung sekuler, karena dari keseluruhan total jam pelajaran yang ada, kurikulum sekolah hanya memberikan 2 jam pelajaran agama untuk setiap minggunya. Hal ini tentu berbeda dengan kurikulum madrasah yang memuat 70% untuk pendidikan agama dan 30% sisanya untuk pendidikan umum. Karena itu, kurikulum madrasah dapat dikatakan sebagai kurikulum yang memadukan antara yang sekuler dan yang agamis.
d)     Kurikulum berbentuk keterampilan dan kursus. Pesantren memperlakukan kurikulum yang berbentuk ketrampilan dan kursussecara terencana dan terprogram melalui kegiatan ektrakurikuler. Adapun kursus yang popular dikalangan pesantren adalah bahasa inggris, komputer, setir mobil, reparasi sepeda motor dan mobil, jahit-menjahit, kewirausahaan, pengelasan, dan pertanian. Kurikulum ini diberlakukan di pesantren Karena dua alas an yaitu: alas an politis dan promosi. Dari segi politis, pesantren yang memberikan pendidikan keterampilan dan kursus kepada para santrinya berarti merespons seruan pemerintah untuk peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM). Hal ini berarti hubungan pesantren dengan pemerintah cukup harmonis. Sementara itu, dari segi promosi terjadi peningkatan jumlah calon santri yang memilih pesantren-pesantren modern dan terpadu, dengan alas an karena ada pendidikan ketrampilan dan kursus bagi para santrinya dengan cepat akan menjadi tidak terkenal. Hal ini dapat dipahami karena kecenderungan masyarakat berharap agar produk akhir dari pesantren adalah para alumni yang pandai ilmu agama, bermoral, dan memiliki skill untuk masa depan mereka.[2]  

B.     Pengembangan kurikulum pesantren
     Salah satu dasar pengembangan kurikulum pesantren adalah visi dan misi yang di milikinya. Adapun visi yang dijadikan dasar dalam pengembangan kurikulumnya adalah: “terwujudnya insan yang memiliki keseimbangan spiritual, intelektual dan moral menuju generasi ulul albab yang berkomitmen tinggi terhadap kemajuan umat dengan berlandaskan al-Qur’an dan al-Sunnah”. Visi tersebut diperkuat dengan kittah yang mencakup 5 (lima) macam. Yaitu: (1) memotivasi santri agar islam selalu mampu memberikan jawaban secara handal terhadap tantangan kehidupan yang sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakatnya, (2) memaduakn secara harmonis tradisi pesantren dengan sistem pendidikan persekolahan mutakhir, (3) mengubah citra negative terhadap pondok pesantren, (4) menjadiakn pesantren sebagai lembaga yang memiliki kredibilitas dalam bidang pendidikan islam, (5) menjadikan pesantren sebagai pusat pendidikan perdamaian dengan pemerintah, umat islam, masyarakat luas, dan pemeluk non-islam.
     Untuk mencapai visi tersebut pesantren merumuskan secara detail yaitu terdiri dari lima macam yaitu:
1.      Menyelenggarakan proses pendidikan islam yang berorientasi pada mutu, berdaya saing tinggi, dan berbasis pada sikap spiritual, intelektual, dan moral.
2.      Mengembangkan pola kerja pondok pesantren dengan berbasis pada manajemen professional yang islami.
3.      Menciptakan suasana kehidupan yang tertib, aman, dan damai serta penuh keteladanan.
4.      Meningkatkan citra positif lembaga pendidikan pondok pesantren yang berwawasan sains dan teknologi informasi serta berbudaya islam.
5.      Meenyelenggarakan usaha-usaha kaderisasi untuk kemajuan umat menuju masyarakat madani.
     Misi yang memuat lima poin di atas dijadikan dasar untuk merumuskan tujuan pesantren adalah: (1) membentuk kader-kader ulul albab yang ikut aktif dalam usaha amar ma’ruf nahy munkar. (2) mengembangkan sikap hidup modern berdasar al-Qur’an dan al-Sunnah al-Magbulah dalam keiklasan, kedisiplinan, ketertiban, kebersihan, kedamaian, dan keteladanan, serta (3) menguasai dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi.[3]
      Lebih jauh, kejelasan visi dan misi sebagaiman dikemukan diatas akan mempermudah pesantren untuk menentukan profil para santri. Profil para santri harus mempunyai lima dasar, yaitu (1) santri memiliki wawasan ilmu pengetahuan yang luas, (2) santri yang ber tafaqquh fi al-din (3) santri yang memiliki akhlaq al- Karimah (4) santri yang memiliki kesiapan ber-jihad fi sabilillah, dan (5) santri ang berdiri di atas semua golongan.
     seiring dengan tuntutan zaman dan laju perkembangan masyarakat, pesantren yang pada dasarnya didirikan untuk kepentingan moral, pada akhirnya harus berusaha memenuhi tuntutan masyarakat dan tuntutan zaman. Orientasi pendidikan pesantren perlu diperluas, sehingga menuntut dilakukannya pembaharuan kurikulum yang berorientasi kepada kebutuhan zaman dan pembangunan bangsa. Oleh karena itu pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan penyesuaian yang tidak hanya akan mendukung kelangsungan hidup pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem penjenjangan kurikulum yang lebih jelas dan sistem klasikal.
    Sifat adaptif sebagaimana tersebut di atas adalah sifat dasar kurikulum yang diperlukan untuk mengantisipasi tuntutan dan perkembangan zaman. Paling tidak terdapat tiga dasar keyakinan yang kondusif untuk dijadikan sebagai landasan akan pentingnya memperhatikan sikap adaptif kurikulum terhadap suatu perubahan yang terjadi yaitu: Pertama, perubahan yang terjadi bersifat positif; Kedua, perubahan yang terjadi dilingkungan sekolah sifatnya cenderung menetap (terus menerus); Ketiga, perlunya usaha untuk menyempurnakan rencana-rencana yang disusun oleh sekolah atau guru karena terjadinya proses adopsi terhadap suatu pembaharuan atau inovasi.
      Pesantren-pesantren yang masih dalam bentuk aslinya (tradisional), biasanya cenderung mengikuti pola pemahaman tekstual. Sedangkan di pesantren-pesantren yang sudah terpengaruh dengan pola pendidikan modern, arti tekstual telah diimbangi oleh pemahaman-pemahaman kontekstualnya. Perkembangan seperti ini cukup kondusif untuk menopang proses inovasi, apa lagi dikaitkan dengan usaha-usaha untuk membuktikan kebaikan inovasi itu sendiri di dalam sistem kehidupan masyarakatnya.[4]

C.     Program  Pendidikan dan Kurikulum Pesantren
       Pendidikan pondok pesantren merupakan usaha sistematis untuk mengembangkan potensi spiritualitas dan ta’abbudiyah santri dalam rangka mewujudkan profil santri yang memiliki akhlak mulia (akhlaq karimah). Untuk pentingan ini, pendidikan pondok diselenggarakan dalam 3 bentuk kegiatan, yaitu: kegiatan kurikuler, kegiatan kokurikuler, dan kegiatan ekstra-kurikuler.
       Kegiatan kurikuler ditekankan pada aspek kognitif karena diselenggarakan melalui model kurikulum persekolahan, ko-kurikuler pada aspek afektif karena diselenggarakan melalui model pengalaman hidup, dan ekstra-kurikuler pada pesikomotorik karena diselenggarakan melalui model pendidikan keterampilan.
       Adapun kegiatan ko-kurikuler pondok dimaksudkan sebagai suatu kegiatan pendidikan yang mendukung kegiatan kurikuler. Kegiatan ini diselenggarakan pada waktu pagi dan malam hari. Sebagaimana kegiatan kurikuler, untuk kegiatan ko-kurikuler juga diberikan dalam bentuk mata pelajaran seperti: (1) Qira’at al-Qur’an, (2) al-Muhadarah, (3) Tazwid wa Tasyji’ al-Lughah, (4) al-Muhadathah, (5) Qira’at al-Kitab.
       Perlu ditambahkan bahwa mata pelajaran al-muhadarah merupakan mata pelajaran yang bertujuan untuk melatih santri agar terampil berpidato   
   baik dalam bahasa Indonesia, arab, maupun Inggris, adapun mata pelajaran Tazwid wa Tasji’ al-Lughah merupakan mata pelajaran yang secara khusus membekali santri memiliki keterampilan berbahasa Arab maupun Inggris. Sedangkan mata pelajaran Qira’at al-kitab adalah mata pelajaran yang diberikan kepada santri untuk membekali keterampilan membaca kitab-kitab islam klasik, yang lazim dikenal dengan kitab kuning.
      Kegiatan lain yang mengandung unsur pendidikan adalah kegiatan makan di kantin: pada makan pagi, makan siang, dan makan malam. Pada kegiatan ini, setiap santri harus siap antri untuk memperoleh nasi, lauk-pauk, dan minuman dari petugas. Mereka makan bersama dan berbaur dengan kakak adik kelas yang berasal dari berbagai daerah. Ditengah-tengah mereka, ada beberapa ustadz yang turut makan bersama. Berkaitan dengan ini, seorang ustadz mengatakan bahwa makan bersama dengan para santri ini dimaksudkan untuk menjalin hubungan yang sedekat mungkin antara ustadz dengan para santri. Ustadz lain menambahkan bahwa para ustadz disini menempatkan diri mereka sebagai bapak atau ayah dari para santri. Hal ini harus dilakukan dengan alasan karena mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia yang jauh dari keluarga. Dengan makan bersama ini, diharapkan mereka merasa seperti dalam satu keluarga yang ada di rumah. Pemandangan serupa juga terjadi di kantin putri, seorang ustadzah mengatakan bahwa kebersamaan antara ustadzah dan santri dalam kegiatan makan sehari-hari ini merupakan keharusan moral bagi seorang pengasuh. Ia menyebutkan alasan bahwa bahwa dengan makan bersama ini para santi dapat melihat bahwa dari segi makan tidak ada perbedaan antara ustadzah dan santri. Para ustadzah memakan jenis makanan yang sama dengan jenis makanan yang dimakam oleh para santri. Dan ini adalah salah satu pembelajaran yang berharga bagi para santri.
      Shalat jama’ah di masjid untuk waktu-waktu shalat wajib juga sebagai sarana pendidikan dan pembelajaran di pesantren, dalam kegiatan shalat berjama’ah terdapat beberapa pendidikan berharga bagi para santri, seperti kedisiplinan, ketertiban, dan kebersamaan. Dalam berjama’ah kiai membuat peraturan kepada santri yang dikenal sebagai TIBSAR (tata tertib dasar santri), dalam peraturan tersebut terdapat bagian yang mengatur tentang ibadah santri, yang meliputi lima macam, kelima peraturan tersebut adalah: (1) santri diwajibkan shalat lima waktu berjama’ah tepat pada waktu dan tempat yang telah di tentukan, (2) santri ditekankan telah berada di dalam masjid sebelum adzan di kemandangkan, (3) santri diwajibkan berdzikir setiap selesai shalat fardhu, (4) santri ditekankan mendirikan shalat sunnat sesuai dengan syari’at, dan (5) santri wajib mendirikan shalat tarawih pada bulan Ramadhan dengan berjama’ah ditempat yang telah di tentukan.
      Bentuk pendidikan pondok yang terakhir adalah kegiatan ekstra-kurikuler, yaitu kegiatan pendidikan yang berusaha untuk mengembangkan potensi bakat dan minat para santri, baik dalam bidang olahraga, keterampilan, maupun seni. Kegiatan ektra-kurikuler yang berbentuk klub-klub kegiatan ini diselenggarakan pada waktu sore dan jum’at pagi. Adapun yang termasuk bidang olahraga adalah: bela diri, sepak bola, renang, bulu tangkis, sepak takrau, dan bola voli. Sedangkan yang termasuk bidang keterampilan adalah: tulis indah kaligrafi (khat), menjahit dan merakit komputer. Terakhir, yang termasuk bidang seni adalah nasyid, rebana, akustik, teater atau drama. Bagi para santi, kegiatan ekstra kurikuler ini dapat dipilih secara bebas sesuai dengan minat dan kecenderungan masing-masing santri. Dalam praktiknya, setiap bidang bakat dan minat di atas difasilitasi oleh seorang ustadz, guru atau pelatih. Selain menyediakan ustadz, guru atau pelatih juga menyediakan fasilitas-fasilitas yang diperlukan seperti tempat dan berbagai jenis peralatan. Untuk bidang olahraga, tempat kegiatan dipusatkan di lapangan, GOR, dan tempat-tempat terbuka lainnya seperti di sekitar masjid dan halaman pesantren. Sementara itu, untuk bidang keterampilan dan kesenian mengambil tempat di ruang keterampilan dan ruang-ruang kelas yang ditunjuk. Dari segi tempat, ada pemisahan antara santri putra dan putrid.
     Dengan pendidikan pondok sebagaimana yang di deskripsikan di atas, output yang diharapkan adalah (1) santri mampu menghafal al-Qur’an sekurang-kurangnya 3 jus, yaitu 1,2, dan 30, (2) santri mampu membaca al-Qur’an dengan tartil, (3) santri mampu menjadi imam dan khatib, (4) santri mampu berkomunikasi dalam bahasa Arab atau bahasa Inggris, (5) santri mampu membuat teks pidato minimal dalam dua bahasa: Arab dan Inggris, (6) santri memiliki badan sehat, jiwa mandiri, ikhlas, sederhana, dan ukhuwwah islamiyah serta kepemimpinan, (7) santri memiliki aqidah salimah, akhlaq karimah, dan ibadah sahihah, (8) santri menguasai dasar-dasar ilmu sosial dan alam, dan (9) santri memiliki dasar-dasar aplikasi komputer.[5]

D.    Evaluasi Kurikulum Pesantren
Evaluasi kurikulum pondok dilakukan untuk mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan dan profil santri. Selain itu, evaluasi kurikulum pondok juga dimaksudkan untuk memperbaiki bagian-bagian yang memerlukan perbaikan. Kegiatan evaluasi kurikulum pondok ini dikoordinasikan oleh bagian kurikulum dan sekretariat pondok. Bagian kurikulum bertugas mengumpulkan dan mengkaji laporan dan masukan yang diberikan oleh para pengasuh, para santri, dan para orang tua santri. Secretariat pondok bertugas memfasilitasi pembahasan tentang laporan dan masukan yang telah dikaji oleh bagian kurikulum.
Dalam hal evaluasi, keberhasilan, keberhasilan belajar dipesantren ditentukan oleh penampilan kemampuan mengajarkan kitab kepada orang lain. Artinya jika audiennya puas, berarti santri tersebut telah lulus, sehingga legitimasi kelulusannya adalah restu kiai. Bentuk sisitem evaluasi lainnya adalah selesainya pengajian suatu kitab di pesantren dalam waktu tertentu, lalu di berikan ijazah yang bentuknya adalah santri harus siap membaca kitab sewaktu-waktu kiai memanggilnya untuk membaca kitab tersebut. Dalam hal ini biasanya santri yang cerdas akan di minta kiai sebagai pengantinya ( badal).
Selain dua bentuk evaluasi diatas, sisitem evaluasi pesantren lebih ditekankan pada kemampuan santri dalam mentransformasikan nilai ajaran agama melalui ilmu dari pesantren di masyarakat. Hal ini akan memungkinkan adanya evaluasi diri ( self evaluation) sehingga memungkinkan penilaian obyektif dengan cara santri menggukur sendiri prestasi belajar. Dari gambaran diatas, dapat diketahui bahwa sistem evaluasi di pesantren belum dilakukan secara formal.
Selain unsur-unsur yang telah disebutkan diatas, yaitu asrama santri (pondok dan masjid). Pondok merupakan unsure penting karena fungsinya sebagai tempat tinggal atau asrama santri, sekaligus untuk membedakan apakah lembaga tersebut layak dinamakan pesantren atau tidak. Menginggat,terkadang sebuah masjid atau bahkan mushola, setiap saat rame dikunjungi oleh kalangan mereka yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu agama, akan tetapi tempat tersebut tidak dikenal sebagai pesantren lantaran tidak memiliki bangunan pondok atau asrama santri.
Bangunan pada setiap pondok pesantren berbeda-beda, baik kualitas maupun kelengkapanya. Ada yang didirikan atas biaya kiai, kegotong-royongan para santri, sumbangan warga masyarakat, dan sumbangan dari pemerintah. Tetapi dalam tradisi pesantren yang umum, yaitu kiai yang memimpin pesantren biasanya mempunyai kewenangan dan kekuasaan mutlak atas pembangunan dan pengelolahan pondok.
Ada tiga alasan utama kenapa pesantren harus menyediakan pondok bagi para santrinya. Pertama, kemasyuran kyai dan kedalaman pengetahuanya tentang islam menarik santri dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari kiai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama. Para santri harus meninggalkan kampong halamanya dan menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, hampir semua pesantren berada di desa-desa yang tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk menampung santri, dengan demikian perlu adanya suatu asrama yang khusus bagi para santri. Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, di mana para santri menganggap kyainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kyai menganggap santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi. Sikap timbale balik ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan terus menerus.
Sistem pondok ini bukan saja merupakan elemen penting dari tradisi pesantren, tetapi juga menopang utama untuk dapat terus berkembang. Meskipun keadaan pondok sangat sederhana dan penuh sesak, santri yang berasal dari pedesaan dan baru pertama kali meninggalkan desanya untuk melanjutkan pelajaran di suatu wilayah yang baru itu tidak perlu mengalami kesukaran dalam tempat tinggal atau penyesuaian diri dengan lingkungan sosial yang baru.[6]
Di samping pondok, pesantren juga mempunyai masjid . seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren biasanya perama-tama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya di ambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah pesantren. Karena itu, kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan islam tradisional.
Dalam sistem pesantren, masjid merupakan unsure dasar yang harus dimiliki karena ia merupakan tempat utama yang ideal untuk mendidik dan melatih para santri, khususnya dalam melaksanakan tata cara ibadah, pengajaran kitab-kitab islam klasik, dan kegiatan masyarakat. Masjid pesantren biasanya dibangun dekat kediaman kyai dan berada di tengah-tengah komplek pesantren.
Masjid disamping berfungsi sebagai tempat ritual juga berfungsi sebagai tempat pembelajaran. Sebelum adanya madrasah di pesantren, masjid adalah tempat pembelajaran umum. Bahkan masjid berfungsi juga sebagai tempat diskusi dan musyawarah antara kyai dan santri.[7]

IV.             KESIMPULAN
      kurikulum pada dasarnya merupakan seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan yang diinginkan. Dengan demikian, kurikulum melingkupi: tujuan, materi pelajaran, metode, dan evaluasi. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga telah memuat hal-hal tersebut.
       seiring dengan tuntutan zaman dan laju perkembangan masyarakat, pesantren yang pada dasarnya didirikan untuk kepentingan moral, pada akhirnya harus berusaha memenuhi tuntutan masyarakat dan tuntutan zaman. Orientasi pendidikan pesantren perlu diperluas, sehingga menuntut dilakukannya pembaharuan kurikulum yang berorientasi kepada kebutuhan zaman dan pembangunan bangsa. Oleh karena itu pesantren melakukan sejumlah akomodasi dan penyesuaian yang tidak hanya akan mendukung kelangsungan hidup pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem penjenjangan kurikulum yang lebih jelas dan sistem klasikal.
    Sifat adaptif sebagaimana tersebut di atas adalah sifat dasar kurikulum yang diperlukan untuk mengantisipasi tuntutan dan perkembangan zaman. Paling tidak terdapat tiga dasar keyakinan yang kondusif untuk dijadikan sebagai landasan akan pentingnya memperhatikan sikap adaptif kurikulum terhadap suatu perubahan yang terjadi yaitu: Pertama, perubahan yang terjadi bersifat positif; Kedua, perubahan yang terjadi dilingkungan sekolah sifatnya cenderung menetap (terus menerus); Ketiga, perlunya usaha untuk menyempurnakan rencana-rencana yang disusun oleh sekolah atau guru karena terjadinya proses adopsi terhadap suatu pembaharuan atau inovasi.

      Pendidikan pondok pesantren merupakan usaha sistematis untuk mengembangkan potensi spiritualitas dan ta’abbudiyah santri dalam rangka mewujudkan profil santri yang memiliki akhlak mulia (akhlaq karimah). Untuk pentingan ini, pendidikan pondok diselenggarakan dalam 3 bentuk kegiatan, yaitu: kegiatan kurikuler, kegiatan kokurikuler, dan kegiatan ekstra-kurikuler.
   Dalam hal evaluasi, keberhasilan, keberhasilan belajar dipesantren ditentukan oleh penampilan kemampuan mengajarkan kitab kepada orang lain. Artinya jika audiennya puas, berarti santri tersebut telah lulus, sehingga legitimasi kelulusannya adalah restu kiai. Bentuk sisitem evaluasi lainnya adalah selesainya pengajian suatu kitab di pesantren dalam waktu tertentu, lalu di berikan ijazah yang bentuknya adalah santri harus siap membaca kitab sewaktu-waktu kiai memanggilnya untuk membaca kitab tersebut. Dalam hal ini biasanya santri yang cerdas akan di minta kiai sebagai pengantinya ( badal).

V.                 PENUTUP
     Demikian makalah ini yang dapat penulis buat. Penulis menyadari dalam pembuatannya masih jauh dari kata sempurna, karena masih banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan makalah penulis selanjutnya.



DAFTAR PUSTAKA
            Aly, Abdullah. Pendidikan Islam Multikultural Di Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Belajar. 2011
           Muthohar, Ahmad. Ideologi Pendidikan Pesantren. Semarang: Pustaka Rizki Putra. 2007
           http://makalahtentang.wordpress.com/2011/04/18/pengembangan-kurikulum-di-pesantren/


[1] Ahmad Muthohar. Ideologi Pendidikan Pesantren. (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007). Hlm. 24


[2] Abdullah Aly. Pendidikan Islam Multikulturum di Pesantren. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011). Hlm. 183-190
[3] Abdullah Aly. 2011. Hlm. 204-206                                      
[4] http://makalahtentang.wordpress.com/2011/04/18/pengembangan-kurikulum-di-pesantren/
[5] Abdullah Aly, 2011. Hlm. 225-233
[6] Ahmad Muthohar, 2007. Hlm 29-31
[7] Ahmad Muthohar,2007. Hlm. 29-31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar