Kamis, 11 Juni 2015

AYAT-AYAT TENTANG MASYARAKAT



AYAT-AYAT TENTANG MASYARAKAT

MAKALAH
 Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Pengantar Studi Islam
 Dosen Pengampu : Dr. Mustafa Rahman, M.Ag
Description: http://buku-on-line.com/wp-content/uploads/2012/04/Logo-IAIN-Walisongo-Semarang.jpg

Disusun Oleh :
Abi Kustama                                  (133311021)
Eko Juni Setiawan                          (133311023)
M. Faiz Ali M.                                (133311028)
Irrodhatus Salamah                                   (133311035)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
                                            TAHUN 2014



I.           PENDAHULUAN
       Manusia sebagai makhluk sosial atau ‘zoon politicon’, sudah semestinya menjalankan tugas dan kewajibannya untuk bersosialisasi dengan sesamanya. Sehingga manusia bukan hanya melaksanakan hubungan vertikal kepada Allah (hablun minallah), tetapi juga perlu melaksanakan hubungan horizontal kepada sesama manusia (hablun minannas). Sebab, segala aktivitas manusia membutuhkan peran antar sesama manusia yang biasa disebut dengan interaksi sosial.
       Dalam berkehidupan dan bermasyarakat, manusia bukan sebagai makhluk individu belaka. Seperti halnya makan, minum, bertempat tinggal, mereka dalam memenuhi kebutuhan pribadinya tersebut pasti membutuhkan orang lain demi memenuhi kebutuhan mereka. Sehingga masyarakat dapat dikatakan sekumpulan manusia yang hidup dan berinterkasi satu dan yang lainnya, serta akan membentuk sistem tatanan kehidupan yang semestinya.
       Berkaitan dengan permasalahan manusia dalam bermasyarakat. Maka tafsir ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kemasyarakatan perlu dikaji. Karena dari penafsiran ayat-ayat tersebut dapat memberikan gambaran, penjelasan dan alternatif yang tepat dalam kehidupan bermasyarakat.
       Mengingat pentingnya memahami peran manusia dalam bermasyarakat. Tentu harus mengetahui beberapa hal tentang pembahasan tersebut. Sehingga dalam pembahasan berikut dijelaskan tentang manusia sebagai makhluk sosial dan mengenai sunatullah dalam kemasyarakatan. Selain itu, penjelasan tentang tugas manusia, maka akan menumbuhkan sikap dan peran positif bagi manusia dalam kehidupan sosial.
Oleh karena itu, penulis telah memaparkan masalah tersebut dalam makalah ini. Dengan menjelaskan tafsir terhadap ayat-ayat yang mengandung kajian dalam bermasyarakat. Sehingga diharapkan dapat menambah wawasan khazanah keislaman dan dapat mengambil hikmah pada pembahasan tersebut.

II.          RUMUSAN MASALAH
1.    Bagaimana penjelasan tentang manusia sebagai makhluk sosial?
2.    Bagaimana hukum-hukum kemasyarakatan (sunnatullah)?
3.    Apa saja tugas manusia sebagai makhluk sosial?
4.    Bagaimana sikap dan peran positif manusia dalam kehidupan sosial?
III.          PEMBAHASAN
A.  Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Dalam Q.S. Al-Anbiya’ ayat 92, telah menjelaskan:
¨bÎ) ÿ¾ÍnÉ»yd öNä3çF¨Bé& Zp¨Bé& ZoyÏmºur O$tRr&ur öNà6š/u Âcrßç7ôã$$sù ÇÒËÈ  
Artinya: “Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah aku”. (Q.S. Al-Anbiya’ ayat 92).
          Penjelasan ayat ialah sesungguhnya ini merupakan ajaran agama yang demikian dekat ke jati diri setiap insan dan yang disampaikan oleh para nabi yang disebut nama-namanya sebelum ini, adalah umat, yakni agama, kamu semua; umat, yakni agama yang satu sumbernya dan satu dalam prinsip-pinsip ajarannya. Karna itu, jagalah keutuhan agama ini dan peliharalah persatuan kalian, jangan saling bertentangan dan saling berpecah belah dan ketahuilah bahwa Aku Allah yang maha Esa adalah Tuhan pencipta,pemelihara, dan pembimbing kamu, wahai umat manusia, maka sembahlah aku secara tulus dan jangan sekutukan aku dengan apa dan siapa pun.
          Kata ((امّة Ummah diambil dari kata (امّ- يومّ) amma-Yaummu yang berarti menuju, munumpu, dan meneladani. Pakar bahasa Al-quran ae-Raghib al-Ashfahari, dalam bukunya, al-Mufradat fi Gharib Al-quran, ketika menjelaskan ayat ini mendefinisikannya sebagai semua kelompok yang di himpun oleh sesuatu seperti agama yang sama atau waktu atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka. Para pakar berbeda pendapat entang satu kelompok agar wajar dinamai. Ada ulama yang mengatakan jumlah minimal adalah 100 orang. Mereka merujuk pada satu riwayat yang dinisbahkan kepada nabi  Muhammad SAW. yang menyatakan bahwa : “tidak seorang mayatpun yang shalat untuknya ummat dari kaum muslimin sebanyak 100 orang agar diampuni kecuali oleh-Nya.”[1]

B.  Hukum Kemasyarakatan
1.    Q.S. Al-Hajj ayat 67
Èe@ä3Ïj9 7p¨Bé& $uZù=yèy_ %¸3|¡YtB öNèd çnqà6Å$tR ( Ÿxsù y7¨YããÌ»oYムÎû ͐öDF{$# 4 äí÷Š$#ur 4n<Î) y7În/u ( y7¨RÎ) 4n?yès9 Wèd 5OŠÉ)tGó¡B ÇÏÐÈ  
Artinya: “Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari'at tertentu yang mereka lakukan, Maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari'at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus”. (Q.S. Al-Hajj ayat 67)
Penjelasan:
Thabathaba’i memahami kata (%¸3|¡YtB) atau manasakan dalam arti syariat dan memahami pembantahan itu setelah orang-orang kafir dari Ahl al-kitab atau kamu musyrikin Makkah melihat ibadah umat islam berbeda dengan apa yang selama ini dari syariat-syariat yang lalu. Dari sini mereka mempertanyakan dan menyatakan bahwa seandainya syariatmu benar, tentulah sama dengan syariat-syariat sebelumnya. Maka turunlah ayat ini menjelaskan adanya perbedaan antar perincian syariat, akibat perkembangan masyarakat dan kemaslahatan umat manusia. Ayat diatas merupakan salah satu prinsip dasar yakni tidak menghina atau mempersalahkan agama dan kepercayaan pihak lain, tetapi mengembalikan kepada tuhan yang maha kuasa utusan akhir, tanpa ragu sedikitpun menyangkut keyakinan yang dianut.
Firmannya  (فلاينازعنّك) atau fala yunazi’unnaka adalah janganlah sekali-kali mereka membantahmu pada lahirnya redaksi ini kepada Rasulullah SAW, tetapi maksudnya adalah kaum musyirikin yang membantah itu.
Ada juga yang berpendapat bahwa larangan tersebut tertuju kepada kedua belah pihak antara  Rasul SAW dan kaum musyrikin. Ini dipahami dari peraton kata (ينازعنّك) hanya saja, larangan itu disini dinisbahkan kepada kaum musyrikin (janganlah sekali-kali mereka membantahmu) untuk menekankan larangan kepada nabi SAW melakukan pembantahan itu.
Dia di tengah antara kamu, wahai kaum musyrikin dan kaum muslimin, tidak memihak kepada salah satu pihak didorong oleh suka atau tidak suka, tetapi semata-semata berpihak kepada kebenaran dan keadilan.
Firman-Nya(الم تعلم)  atau alam ta’lam berarti ‘apakah engkau tidak mengetahui’ dapat juga dipahami sebagai pertanyaan yang mengandung pembenaran dalam arti sebenarnya engkau telah mengetahui.[2]
2.    Q.S. Hud ayat 118-119
öqs9ur uä!$x© y7/u Ÿ@yèpgm: }¨$¨Z9$# Zp¨Bé& ZoyÏnºur ( Ÿwur tbqä9#ttƒ šúüÏÿÎ=tGøƒèC ÇÊÊÑÈ   žwÎ) `tB zMÏm§ y7/u 4 y7Ï9ºs%Î!ur óOßgs)n=yz 3 ôM£Js?ur èpyJÎ=x. y7În/u ¨bV|øBV{ zO¨Yygy_ z`ÏB Ïp¨YÉfø9$# Ĩ$¨Z9$#ur tûüÏèuHødr& ÇÊÊÒÈ  
Artinya:
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Q.S. Hud ayat 118)
“Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”. (Q.S. Hud ayat 119)
Penafsiran ayat:
öqs9ur uä!$x© y7/u Ÿ@yèpgm: }¨$¨Z9$# Zp¨Bé& ZoyÏnºur
Penjelasan ayat seandainya Tuhanmu menghendaki, hai Rasul yang mulia, yang sangat berkeinginan agar kaummu beriman dan sedih karena kebanyakan mereka berpaling dari memenuhi seruan dan mengikuti agama sesuai dengan naluri dan fitrah yang ada, bukan berdasarkan pilihan mereka, tentang pembuatan apa yang mereka lakukan. Sehingga, dalam kehidupan kemasyarakatan mereka mirip dengan semut dan lebah, sedang dalam kehidupan-kehidupan rohani, mereka lebih mirip dengan para malaikat yang diciptakan dengan membawakan ketaatan kepada Allah dan menyakini kebenaran dan tidak cenderung kepada kesesatan dan kezaliman. Akan tetapi, Allah Ta’ala telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang berusaha, bukan sekedar dituntun dengan ilham. Mereka beramal dengan pikiran mereka tanpa dipaksa. Mereka Allah jadikan berbeda-beda dalam bakat dan memperoleh ilmu.
            Namun demikian, pada periode pertama kehidupan mereka, memang tidak berbeda samanya. Namun, setelah kebutuhan-kebutuhan mereka meningkat dan bermacam-macam, semakin banyak pula tuntutan-tuntutan masing-masing, maka timbulah kesiapan untuk berselisih, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam Q.S. Yunus ayat 19, yakni:
$tBur tb%x. â¨$¨Y9$# HwÎ) Zp¨Bé& ZoyÏmºur (#qàÿn=tF÷z$$sù 4   )يونس : 19)
            Artinya: “Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih”
Ÿwur tbqä9#ttƒ šúüÏÿÎ=tGøƒèC ÇÊÊÑÈ   žwÎ) `tB zMÏm§ y7/u
            Penjelasan ayat: Dan mereka tetap berselisih dalam urusan duniawi atau agama mereka, sesuai denagn bakat fitrah masing-masing, kecuali orang yang mendapat rahmat Allah diantara mereka. Mereka memang sepakat untuk berpegang teguh dengan hukum Kitab-Nya yang ada pada mereka. Dan kitab Allah itulah yang dijadikan poros kesatuan dan persatuan umat.
y7Ï9ºs%Î!ur óOßgs)n=yz 3
            Penjelasan ayat : karna itulah, Allah menciptakan mereka menurut kehendakNya, agar pada mereka terjadi perselisihan dan perbedaan dalam soal ilmu pengetahuan dan pendapat masing-masing, dengan segala akibat berupa kemauan dan kemauan untuk beramal. Dengan demikian mereka patut menjadi khalifah-khalifah di bumi. Diantaranya adalah perbedaan mereka terhadap agama, keimanan, ketaatan, dan kemaksiatan yang dengan demikian mereka menjadi gejala dari rahasia-rahasia penciptaan Allah, baik bersifat jasmani maupun rohani, atau bersifat materil atau spiritual.
            Menurut Ibnu Abbas, Allah telah menciptakan manusia menjadi dua golongan. Segolongan dirahmati Allah sehingga tidak berselisih dan segolongan lain tidak dirahmati, sehingga berselisih.
            Kesimpulannya adalah manusia itu ada dua golongan. Segolongan bersepakat dalam agama, yang karenanya mereka menganggap kitab Allah sebagai penengah diantara mereka tentang hal-hal yang mereka persiapkan. Sehingga, terjadilah persatuan diantara mereka dan mereka menjadi satu umat yang karenanya allah merahmati dan memelihara mereka dari keburukan perselisihan didunia dan disiksa di akhirat. Sedang segolongan lain, berselisih dalam beragama, sebagaimana mereka berselisih dalam memperebutkan keuntungan duniawi. Sehingga terjadilah kekerasan yang hebat diantara mereka, lalu mereka merasakan azab perselisihan didunia, yang dilanjutkan balasan mereka kelak diakhirat. Oleh karena itu, mereka tidak mendapat rahmat Allah karena kezaliman mereka terhadap diri sendiri, bukan berarti Allah berbuat zalim pada mereka.
ôM£Js?ur èpyJÎ=x. y7În/u ¨bV|øBV{ zO¨Yygy_ z`ÏB Ïp¨YÉfø9$# Ĩ$¨Z9$#ur tûüÏèuHødr&
Artinya: “Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”
            Penjelasan: sesungguhnya telah tetap dalam keputusan Allah kadar dan kebijaksanaan-Nya yang berlaku, bahwa diantara makhluk-Nya ada yang berhak memperoleh surga dan neraka pasti dipenuhi dengan masuk neraka. Bahwa surga dengan neraka pasti dipenuhi jin dan manusia, yang tidak mau mengikuti ajaran yang dibawa oleh para utusan Allah atau ajaran yang telah diturunkan kepada mereka dalam Kitab-kitab-Nya, untuk memberi petunjuk kepada orang-orang mukallaf dan memberi keputusan diantara orang-orang yang berselisih.[3]
C.    Tugas Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Dalam ayat Q.S. Al-Maidah ayat 48, menjelaskan:
!$uZø9tRr&ur y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 šú÷üt/ Ïm÷ƒytƒ z`ÏB É=»tGÅ6ø9$# $·YÏJøygãBur Ïmøn=tã ( Nà6÷n$$sù OßgoY÷t/ !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# ( Ÿwur ôìÎ6®Ks? öNèduä!#uq÷dr& $£Jtã x8uä!%y` z`ÏB Èd,ysø9$# 4 9e@ä3Ï9 $oYù=yèy_ öNä3ZÏB Zptã÷ŽÅ° %[`$yg÷YÏBur 4 öqs9ur uä!$x© ª!$# öNà6n=yèyfs9 Zp¨Bé& ZoyÏnºur `Å3»s9ur öNä.uqè=ö7uŠÏj9 Îû !$tB öNä38s?#uä ( (#qà)Î7tFó$$sù ÏNºuŽöyø9$# 4 n<Î) «!$# öNà6ãèÅ_ötB $YèÏJy_ Nä3ã¥Îm6t^ãŠsù $yJÎ/ óOçGYä. ÏmŠÏù tbqàÿÎ=tFøƒrB ÇÍÑÈ  
Artinya: “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu Dia memberitahukan kepada kamu apa yang kamu telah berselisihkan dalam menghadapinya”. (Q.S. Al-Maidah ayat 48)
                        Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa Setelah berbicara tentang kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as. dan kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa as., kini ayat ini berbicara tentang Alqur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Dan Kami telah turunkan kepadamu wahai Nabi Muhammad al-kittab yakni Alqur’an dengan haq, yakni haq dalam kandungannya, cara turunya maupun Yang menurunkan, yang mengantarnya turun dan yang diturunkan kepadanya. Kitab itu berfungsi membenarkan apa yang diturunkan sebelumnya yakni kandungan dari kitab-kitab yang diturunkan kepada nabi sebelumnya, dan juga menjadi batu ujian yakni tolok ukur kebenaran terhadapnya, yakni kitab-kitab yang diturunkan sebelum itu. Maka putuskanlah perkara diantara  mereka menurut apa yang Allah turunkan baik melalui wahyu yang terhimpun dalam Al-qur’an, dan juga wahyu  lain yang engkau terima, seperti hadis qudsi, maupun yang diturunkan-Nya kepada para nabi yang lain selama belum ada pembatalannya, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu merek. Yakni, orang-orang Yahudi dan semua pihak yang bermaksud mengalihkan engkau dari menetapkan hukum yang bertentangan dengan hukum Allah, yaitu dengan meningggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.
                        Bagi masing-masing umat, yakni kelmpok yang memiliki persamaan dalam waktu, ras atau persamaan lainnya diantara kamu, hai umat-umat manusia. Kami berikan aturan yang merupakan sumber menuju kebahagiaan abadi dan jalan yang terang menuju sumber itu. Wahai Muhammad, Kami telah menjadikan menjadikan syariat yang Kami anugrahkan kepadamu membatalkan semua syariat yang lalu. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu, hai umat Musa dan Isa , umat Muhammad dan umat lain sebelum itu, satu umat saja, yaitu dengan jalan menyatukan secara naluriah pendapat kamu serta tidak menganugerahkan kamu kemampuan memilih, tetapi Dia, Allah tidak menghendaki itu. Karena, Dia hendak menguji kamu yakni memperlakukan kamu perlakuan orang yang hendak menguji terhadap yang telah diberikan-Nya. Kepadamu, baik menyangkut syariat, maupun potensi-potensi lain, sejalan dengan perbedaan masing-masing. Maka karena itu, Kami menetapkan satu syariat, yakni syariat yang dibawa oleh Muhammad saw. Melalui tuntunan itu, kamu semua berlomba-lombalah dengan sungguh-sungguh berbuat aneka kebajikan, dan jangan menghabiskan waktu atau tenaga untuk memperdebatkan perbedaan dan perselisihan antara kamu dengan selain kamu. Hingga akhirnya, hanya kepada Allah-lah tidak kepada siapa pun selain-Nya, kembali kamu semuanya wahai manusia, lalu Dia memberitahukan kepadamu pemberitahuan yang jelas serta pasti apa yang kamu telah terus menerus berselisih dalam menghadapinya, apapun perselisihan itu, termasuk perselisihan menyangkut kebenaran keyakinan dan praktek-praktek agama masing-masing.[4]
D.    Sikap dan Peran Positif Manusia
Dalam Q.S. Ali Imran ayat 104 dan 110, telah menjelaskan:
`ä3tFø9ur öNä3YÏiB ×p¨Bé& tbqããôtƒ n<Î) ÎŽösƒø:$# tbrããBù'tƒur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3YßJø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd šcqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÊÉÍÈ  
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. Ali Imran ayat 104)
Penafsiran kata:
×         p¨Bé& --- Al-Ummah, yaitu (golongan yang berdiri dan banyak antara mereka terdapat ikatan yang menghimpun, dan persatuan yang membuat mereka seperti organ dalam satu tubuh).
ÎŽösƒø:$# --- Al-Khairu, yaitu sesuatu yang didalamnya terkandung kebaikan bagi umat manusia dalam masalah agama dan duniawi.
$rã÷èpRùQ$$Î --- Al-Ma’ruf, yaitu apa yang dianggap baik oleh syariat dan akal. Dan kata munkar ialah lawan katanya.
                        Hendaklah ada diantara kalian suatu golongan yang membeda, bekerja untuk dakwah, amar ma’ruf nahi munkar. Maka wajib bagi orang yang melakukan dakwa memenuhi syarat-syarat agar ia dapat melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, dan bisa menjadi panutan dalam ilmu dan amalnya. Sehingga ada beberapa syarat amar ma’ruf nahi munkar, yakni:
1.      Hendaknya pandai dalam bidang Al-qur’an, sunnah dan sirah Nabi Muhammad saw. dan khulafaurrasyidin ra.
2.      Hendaknya pandai membaca situasi orang-orang yang sedang menerima dakwahnya, baik dalam urusan, bakat, watak dan akhlak mereka. Hematnya, mengetahui kehidupan sosial mereka.
3.      Hendaknya ia mengetahui bahasa umat yang dituju oleh dakwahnya. Rasulullah saw. sendiri memerintahkankepada para sahabat mempelajari bahasa Ibrani, karena beliau perlu berdialog dengan orang-orang Yahudi menjadi tetangga beliau, dan untuk mengetahui hakikat mereka.
4.      Mengetahui agama, aliran, sekte-sekte masyarakat agar juru dakwah bisa mengetahui kebatilan-kebatilan yang terkandung padanya. Sebab bila seseorang tidak jelas kebatilan yang dipeluknya, maka sulit baginya memenuhi ajakan kebenaran yang didengungkan oleh orang lain, sekalipun orang tersebut mengajaknya.[5]
                        Dalam Quraish Shihab dalam Al-Lubab menjelaskan bahwa, guna membendung usaha-usaha menyesatkan kaum Muslim, serta memelihara dan meningkatkan ketakwaan mereka, ayat 104 memerintahkan agar selalu ada sekelompok, bahkan setiap muslim selalu mengingatkan , menganjurkan pengamalan nilai-nilai agama, dan memerintahkan yang ma’ruf, yaitu budaya yang berkembang dalam masyarakat selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama sambil mencegah terjadinya pelanggaran nilai-nilai ketuhanan dan atau nilai-nilai budaya yang luhur.[6]
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ  
                        Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (Q.S. Ali Imran ayat 110)
                        Begitu pula, dalam ayat 110 menjelaskan bahwa umat Islam adalah sebaik-baiknya umat karena mereka menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar serta beriman kepada Allah swt. Yang Maha Esa. Ahl al-Kitab pun dapat memperoleh kebajikan yang sama jika mereka beriman kepada Nabi Muhammad saw. Tetapi, hanya sedikit diantara mereka yang beriman.[7]
Pemahaman terhadap konsep masyarakat yang ideal amat diperlukan dalam rangka mengembangkan konsep pendidikan. Berkenaan dengan ini paling tidak terdapat empat hal yang menggambarkan hubungan konsep masyarakat dengan pendidikan, antara lain:
a.       Bahwa gambaran masyarakat yang ideal harus dijadikan salah satu pertimbangan dalam merancang visi, misi dan tujuan pendidikan
b.      Gambaran masyarakat yang ideal juga harus dijadikan landasan bagi pengembangan pendidikan yang berbasis masyarakat
c.       Perkembangan dan kemajuan yang terjadi di masyarakat juga harus dipertimbangkan dalam merumuskan tujuan pendidikan
d.     Perkembangan dan kemajuan yang terjadi di masyarakat harus dijadikan landasan bagi perumusan kurikulum.[8]

IV.          KESIMPULAN
       Pada ayat Q.S. Al-Anbiya ayat 92 menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk sosial, dimaknai terhadap semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu, misalnya agama yang sama atau waktu atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka. Sehingga sudah dipastikan bahwa antar sesama umat manusia terjadi saling berinteraksi satu sama lain. Maka manusia harus dapat menempatkan dirinya sebagai makhluk sosial.
       Dalam Q.S. Al-Hajj ayat 67 menjelaskan pula bahwa memaknai syariat, baik syari’at sebelum Islam maupun syari’at Islam. Sebab, hal itu merupakan sunnatullah, yaitu hukum-hukum kemasyarakatan dari rahmat perbedaan oleh Allah swt. karena itu terjadi akibat perkembangan masyarakat dan kemaslahatan umat manusia.
       Begitu pula, didalam Q.S. Hud ayat 118-119 meyatakan bahwa beriman dan sedih karena kebanyakan diataran mereka berpaling dari memenuhi seruan yang bukan berdasarkan fitrahnya. Sehingga dalam kehidupan kemasyarakatan mereka saling membantu, sedang dalam kehidupan-kehidupan rohani, mereka harus patuh dan taat kepada Allah dan menyakini kebenaran, serta tidak cenderung kepada kesesatan dan kezaliman.
       Selain itu, Q.S. Al-Maidah ayat 48 menyatakan bahwa perlakuan orang yang hendak menguji terhadap yang telah diberikan oleh Allah swt. Baik menyangkut syariat, maupun potensi-potensi lain, sejalan dengan perbedaan masing-masing. Melalui tuntunan itu, kamu semua berlomba-lombalah dengan sungguh-sungguh berbuat aneka kebajikan, dan jangan menghabiskan waktu atau tenaga untuk memperdebatkan perbedaan dan perselisihan antara kamu dengan selain kamu.
       Sehingga pada Q.S. Ali Imran ayat 104 dan 110 menjelaskan bahwa manusia harus bersikap dan berprilaku positif seperti bekerja untuk dakwah, amar ma’ruf nahi munkar. Maka wajib bagi orang yang melakukan dakwa memenuhi syarat-syarat agar ia dapat melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya, dan bisa menjadi panutan dalam ilmu dan amalnya.

V.          PENUTUP
Demikian makalah yang kami susun. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis membutuhkan sumbangsih kritik maupun saran yang konstruktif demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat dan menambah keilmuan dan pengetahuan  kita. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Mushtafa, Terjemah Tafsir Al-Maraghi 12. Semarang: PT. Karya Toha Putra. 1993
Al-Maraghi, Ahmad Mushtafa. Terjemah Tafsir Al-Maraghi 4. Semarang: PT. Karya Toha Putra. 1993
Nata, Abudin. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. 2009
Shihab, M. Quraish. Al-Lubab: Makna, Tujuan, Dan Pelajaran Dari Surah-Surah Al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati. 2012
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 8. Jakarta: Lentera Hati. 2009
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 3. Jakarta: Lentera Hati. 2008



[1] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 8, cet.II, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), hlm. 116-117.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 3, cet. XII, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), hlm. 89-92.
[3] Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi 12, cet. II, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993), hlm. 192-195.
[4] M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 3.....”, hlm. 110-112
[5] Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi 4, cet. II, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993), hlm. 36-37.
[6] M. Quraish Shihab, Al-Lubab; Makna, Tujuan, Dan Pelajaran Dari Surah-Surah Al-Qur’an, cet. I, (Tangerang: Lentera Hati, 2012), hlm. 126.
[7] M. Quraish Shihab, “Al-Lubab; Makna, Tujuan, Dan Pelajaran Dari Surah-Surah Al-Qur’an... , hlm. 127.
[8] Abudin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, cet. III, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2009 ), hlm.  245-246.

1 komentar:

  1. Best Casino Apps - JTM Hub
    Check out the 공주 출장샵 top casinos on our 오산 출장안마 list. 경기도 출장안마 Find the 수원 출장샵 best games, apps, and the fastest payouts. All games 속초 출장안마 are tested to ensure you have

    BalasHapus