Kamis, 11 Juni 2015

PERIWAYATAN HADIS SECARA LAFAZ DAN MAKNA



PERIWAYATAN HADIS SECARA LAFAZ DAN MAKNA

 
A.    Pendahuluan

Sebagai salah satu sumber hukum Islam, hadis memiliki kedudukan yang penting bagi umat Islam. Malahan, hadis menjadi satu di antara dua panduan beragama umat Islam agar selamat dan tidak sesat dalam kehidupan di dunia. Begitu besar perhatian ulama dan umat Islam, pelbagai kajian dan studi muncul untuk memahami hadis.
Ulama telah memberikan kontribusi yang besar dalam menyusun ilmu-ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadis dalam rangka upaya untuk memahami hadis dalam lingkup Ulumul Hadis[1][1]. Ilmu-ilmu itu tumbuh dalam waktu yang hampir bersamaan dan saling berkaitan.
Salah satu cabang ilmu yang memiliki pengaruh besar terhadap pemeliharaan, penjelasan, pemahaman dan pengenalan terhadap para perawi hadis adalah tahammul wa ‘ada’ul hadis. Tahammul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan hadis dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadis[2][2]. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib memberikan defenisi tahamul dengan kegiatan menerima dan mendengar hadis[3][3]. Jadi tahammul adalah proses menerima periwayatan sebuah hadis dari seorang guru dengan metode-metode tertentu.
Sedangkan ada adalah kegiatan meriwayatkan dan menyampaikan hadis. Menurut Nuruddin ‘Itr, ‘ada adalah menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain[4][4]. Jadi ‘ada merupakan proses menyampaikan dan meriwayatkan hadis.
Dalam periwayatan hadis tersebut, menerima (tahammul) maupun menyampaikan (‘ada), ada yang dilakukan dengan lafzi atau ma’nawi. Lebih lanjut cara periwayatan hadis ini akan penulis bahas pada makalah ini, disertai dengan kedudukannya dalam periwayatan, apakah boleh atau tidaknya periwayatan ma’nawi, serta syarat yang harus dipenuhi dalam periwayatan ma’nawi.

B.     Pengertian Periwayatan Hadis

Terhimpunnya hadis dalam kitab-kitab hadis semisal Shahih Bukhari dan Shahih Muslim telah melalui kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayat. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan menceritakan hadis atau periwayatan[5][5]. Sesuatu yang di riwayatkan secara umum juga biasa disebut dengan riwayat[6][6].
Kata riwayat adalah masdar dari kata kerja rawa yang berarti naql dan zikir. Artinya adalah penukilan dan penyebutan[7][7]. Dalam istilah ilmu hadis, riwayat adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis.
Perawi hadis adalah orang yang menerima hadis dari guru dan kemudian menyampaikan atau mengajarkannya kepada orang lain (murid). Dengan demikian ada dua fungsi perawi, yaitu menerima dan menyampaikan. Seorang sahabat yang menerima hadis dari Rasul, misalnya, tetapi dia tidak menyampaikannya kepada yang lain, maka ia tidak disebut perawi. Adapun proses penerimaan dan penyampaian hadis kepada yang lain disebut periwayatan.
Seorang perawi hadis dituntut menyampaikan hadis yang diterimanya dari rasul atau sahabat kepada lain seperti apa yang didengarnya tanpa disertai komentar. Perawi bukan pensyarah atau penjelas hadis yang disampaikan. Apabila ia memberi tambahan penjelasan atau komentar, maka tidak disebut materi hadis. Oleh sebab itu dia bukan perawi yang dipercaya dan diterima riwayatnya[8][8].
Secara istilah riwayah adalah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis adalah sebagai berikut:
  1. Orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal dengan   rawi (periwayat)
  2. Apa yang diriwayatkan
  3. Susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad)
  4.  Kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan, dan
  5. Kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al-hadis).

C.     Periwayatan dengan lafaz (riwayat bil lafzi)

Meriwayatkan hadis dengan lafaz adalah meriwayatkan hadis sesuai dengan lafaz yang mereka terima dari Nabi Muahmmad. Dengan istilah lain yaitu meriwayatkan hadis dengan lafaz yang masih asli dari Nabi Muhammad SAW. Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalur ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Nabi Muhammad SAW bukan menurut redaksi mereka. Malahan semua sahabat menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzi bukan maknawi[9][9].
Tercatat dalam sejarah, bahwa para sahabat nabi adalah orang yang sangat berhati-hati dan ketat dalam periwayatan hadis. Mereka tidak mau meriwayatkan sebuah hadis hingga yakin betul teks serat huruf demi huruf yang akan disampaikan itu sama dengan yang mereka terima dari Nabi Muhammad SAW.
Sebagian sahabat ada yang jika ditanya tentang sebuah hadis merasa lebih senang jika sahabat lain yang menjawabnya. Hal demikian agar ia terhindar dari kesalahan periwayatan. Menurut mereka, apabila hadis yang diriwayatkan itu tidak sesuai dengan redaksi yang diterima, mereka telah melakukan perbuatan dosa, seolah-olah telah melakukan pendustaan terhadap nabi Muhammad SAW. Kekhawatiran tersebut karena didorong oleh rasa keimanan mereka yang kuat kepada Nabi Muhammad SAW[10][10].
Dalam hal ini Umar bin Khatab pernah berkata:
من سمع حديثا فحدث به كما سمع فقد سلم
Artinya: “Siapa yang mendengar sebuah hadis kemudian ia meriwayatkannya seperti  yang ia dengar, maka ia telah selamat[11][11]

Periwayatan dengan lafaz ini dapat kita lihat pada hadis-hadis yang memiliki redaksi sebagai berikut:
1.                                                                                                              سمعت  (Saya mendengar)
Contoh:
عن المغيرة قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: إِنَّ كَذِباً عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّداً فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه مسلم وغيره)
Artinya: Dari Mughirah ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya dusta atas namaku itu tidak seperti dusta atas nama orang lain. Maka siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaknya ia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Muslim dan lain-lainnya)

2.                                                                                                              حدّثنى  ( ia menceritakan kepadaku)
Contoh:
حَدَّتَنِى مَالِكٌ عَنِ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حُمَيْدِبْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ
مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya: Malik dari Ibnu Syihab telah bercerita kepadaku, dari Humaidi bin Abdur Rahman dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang melakukan qiyam Ramadhan dengan iman dan ihtisab, diampuni doasa-dosanya yang telah lalu.”

3.                                                                                                              أخبرنى  (Ia memberitakan kepadaku)
4.                                                                                                              رأيت  (Saya melihat)
Contoh:
عن عبّاس بن ربيع قال: رأيت عمربن الخطّاب رضي الله عنه يقبّل الحجر “يعنى الأسود” ويقول إِنِّى لاَءَ عْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَتَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّى رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ (رواه البخارى ومسلم)

Artinya: Dari Abbas bin Rabi’ ra., ia berkata: Aku melihat Umar bin Khaththab ra., mencium Hajar Aswad lalu ia berkata: “Sesungguhnya benar-benar aku tahu bahwa engkau itu sebuah batu yang tidak memberi mudharat dan tidak (pula) memberi manfaat. Seandainya aku tidak melihat Rasulullah SAW. menciummu, aku (pun) tak akan menciummu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis yang menggunakan lafaz-lafaz di atas memberikan indikasi, bahwa para sahabat langsung bertemu dengan Nabi SAW dalam meriwayatkan hadis. Oleh sebab itu para ulama menetapkan periwayatan hadis dengan lafaz dapat dijadikan hujjah, dan tidak ada khilaf.

D.    Periwayatan dengan ma’na (riwayat bil ma’na)

Meriwayatkan hadis dengan makna adalah meriwayatkan hadis berdasarkan kesesuaian maknanya saja sedangkan redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Dengan kata lain apa yang diucapkan oleh Rasulullah hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan oleh para sahabat dengan lafaz atau susunan redaksi mereka sendiri. Hal ini dikarenakan para sahabat tidak sama daya ingatannya, ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu kemungkinan masanya sudah lama, sehingga yang masih ingat hanya maksudnya sementara apa yang diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.
Periwayatan hadis dengan makna tidak diperbolehkan kecuali jika perawi lupa akan lafaz tapi ingat akan makna, maka ia boleh meriwayatkan hadis dengan makna[12][12].
Sedangkan periwayatan hadis dengan makna menurut Luis Ma’luf adalah proses penyampaian hadis-hadis Rasulullah SAW dengan mengemukakan makna atau maksud yang dikandung oleh lafaz karena kata makna mengandung arti maksud dari sesuatu[13][13].
Menukil atau meriwayatkan hadis secara makna ini hanya diperbolehkan ketika hadis-hadis belum terkodifikasi. Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafaz/matan yang lain meskipun maknanya tetap.
Dengan kata lain bahwa perbedaan sehubungan dengan periwayatan hadis dengan makna itu hanya terjadi pada masa periwayatan dan sebelum masa pembukuan hadis. Setelah hadis dibukukan dalam berbagai kitab, maka perbedaan pendapat itu telah hilang dan periwayatan hadis harus mengikuti lafaz yang tertulis dalam kitab-kitab itu, karena tidak perlu lagi menerima hadis dengan makna[14][14].
Pada umumnya para sahabat Nabi membolehkan periwayatan hadis secara makna, seperti: Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud(wafat 32 H/652 M), Anas bin Malik (wafat 93 H/711 M), Abu Darda’ (wafat 32  H/652 M), Abu Hurairah (wafat 58 H/678 M) dan Aisyah istri Rasulullah (wafat 58 H/678 M). Para sahabat Nabi yang melarang periwayatan hadis secara makna, seperti: Umar bin Al-khattab, Abdullah bin Umar bin al-Khattab dan Zaid bin Arqam[15][15].
Terjadinya periwayatan secara lafaz disebabkan beberapa faktor berikut:
a.       Adanya hadis-hadis yang memang tidak mungkin diriwayatkan secara lafaz, karena tidak adanya redaksi langsung dari nabi Muhammad SAW, seperti hadis fi’liyah, hadis taqririyah, hadis mauquf dan hadis maqthu’. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah secara makna dengan menggunakan redaksi perawi sendiri.
b.      Adanya larangan nabi untuk menuliskan selain Alquran. Larangan ini membuat sahabat harus menghilangkan tulisan-tulisan hadis. Di samping larangan, ada pemberitahuan dari nabi tentang kebolehan menulis hadis
c.       Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan, menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat susunan kata-katanya[16][16].

Adapun contoh hadis ma’nawi adalah sebagai berikut:
جَائَتْ اِمْرَأَةٌ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَرَادَ اَنْ تَهِبَ نَفْسَهَالَهُ فَتَقَدَّمَ رَجُلٌ فَقاَلَ: يَارَسُوْلَ اللهِ اَنْكِحْنِيْهَا وَلَمْ يَكُنْ مَعَهُ مِنَ الْمَهْرِ غَيْرَ بَعْضِ الْقُرْآنِ فَقاَلَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْكَحْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ وفىرواية, قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ وفىرواية, زَوَّجْتُكَهَا عَلَى مَعَكَ مِنَ الْقُرآنِ وفىرواية, مَلَكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرآنِ (الحديث)

Artinya: Ada seorang wanita datang menghadap Nabi SAW, yang bermaksud menyerahkan dirinya (untuk dikawin) kepada beliau. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata: Ya Rasulullah, nikahkanlah wanita tersebut kepadaku, sedangkan laki-laki tersebut tidak memiliki sesuatu untuk dijadikan sebagai maharnya selain dia hafal sebagian ayat-ayat Alquran. Maka Nabi SAW berkata kepada laki-laki tersebut: Aku nikahkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar (mas kawin) berupa mengajarkan ayat Alquran.

Dalam satu riwayat disebutkan:
Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Alquran.

Dalam riwayat lain disebutkan:
Aku kawinkan engkau kepada wanita tersebut atas dasar mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Alquran.

Dan dalam riwayat lain disebutkan:
Aku jadikan wanita tersebut milik engkau dengan mahar berupa (mengajarkan) ayat-ayat Alquran.(Al-Hadis)

E.     Hukum Periwayatan Hadis secara Makna

Telah terjadi perselisihan pendapat antara ulama tentang hukum periwayatan hadis secara makna. Perselisihan itu terjadi sebelum dikodifikasinya hadis. Sedangkan setelah pentadwinan dengan berbagai karangan-karangan buku hadis maka tidak boleh adanya periwayatan hadis secara makna[17][17].
Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan meriwayatkan hadis secara makna. Sebagian ahli hadis, ahli ushul dan ahli fiqh mengharuskan para perawi meriwayatkan hadis dengan lafaznya yang didengar, tidak boleh ia meriwayatkan hadis dengan maknanya sekali-kali.
Sedangkan jumhur ulama, yaitu imam yang empat memperbolehkan periwayatan hadis secara makna bagi yang mempunyai ilmu terhadap lafaz-lafaz hadis dengan catatan bukan hadis yang berhubungan dengan ibadah dan bukan perkataan Rasulullah[18][18].
Ulama-ulama lain berpendapat membolehkan seseorang mendatangkan atau meriwayatkan hadis dengan pengertiannya tidak dengan lafaz aslinya. Apabila ia seorang yang menguasai ilmu Bahasa Arab, mengetahui sistem penyampaiannya, berpandangan luas tentang fiqh, dan kemungkinannya lafaz-lafaz yang mempunyai beberapa pengertian sehingga akan terjaga dari pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum dari hadis tersebut dan wajib menyampaikan dengan lafaz yang ia dengar dari gurunya.
Imam Syafi’i menerangkan tentang sifat-sifat perawi bahwa hendaknya orang yang menyampaikan hadis itu seorang yang kepercayaan tentang agamanya lagi terkenal bersifat benar dalam pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafaz dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis sebagaimana yang didengar, bukan diriwayatkan dengan makna.
Apabila diriwayatkan dengan makna sedang dia seorang yang tidak mengetahui hal-hal yang memalingkan makna niscaya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi ia memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila ia menyampaikan hadis secara yang didengarnya, tidak lagi kita khawatir bahwa dia memalingkan hadis kepada yang bukan maknanya. Dan hendaklah ia benar-benar memelihara kitabnya jika dia meriwayatan dengan hadis itu dari kitabnya.
Dari penjelasan ini nyatalah bahwa orang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafaz, boleh meriwayatkan dengan makna apabila dia tidak ingat lagi lafaz yang asli, karena dia telah menerima hadis, lafaz dan maknanya.
Imam Mawardi mewajibkan menyampaikan hadis dengan maknanya apabila lupa lafaznya, khawatir apabila hadis itu tidak disampaikan, kita termasuk golongan yang menyembunyikan hadis.
Ada pendapat lain yang membolehkan meriwayatkan hadis dengan maknanya saja dengan syarat bahwa hadis itu bukan yang diibadati dan ini hanya terjadi pada periode sahabat dan tabi’in, dan dibolehkan hanya bagi ahli-ahli ilmu saja. Menjaga kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis yang hanya dengan maknanya itu setelah meriwayatkan hadis harus memakai kata-kata كما قال dan شبهه serta yang serupa dengannya.
Secara lebih terperinci dapat dikatakan bahwa meriwayatkan hadis dengan maknanya itu sebagai berikut:
1.    Tidak diperbolehkan, pendapat segolongan ahli hadis, ahli fiqh dan ushuliyyin.
2.    Diperbolehkan, dengan syarat yang diriwayatkan itu bukan hadis marfu’.
3.     Diperbolehkan, baik hadis itu marfu’ atau bukan asal diyakini bahwa hadis itu tidak menyalahi lafaz yang didengar, dalam arti pengertian dan maksud hads itu dapat mencakup dan tidak menyalahi.
4.    Diperbolehkan, bagi para perawi yang tidak ingat lagi lafaz asli yang ia dengar, kalau masih ingat maka tidak diperbolehkan menggantinya.
5.    Ada pendapat yang mengatakan bahwa hadis itu yang terpenting adalah isi, maksud kandungan dan pengertiannya, masalah lafaz tidak jadi persoalan. Jadi diperbolehkan mengganti lafaz dengan murodif-nya.
6.    Jika hadis itu tidak mengenai masalah ibadah atau yang diibadati, umpamanya hadis mengenai ilmu dan sebagainya, maka diperbolehkan dengan catatan:
a.       Hanya pada periode sahabat
b.      Bukan hadis yang sudah didewankan atau di bukukan
c.       Tidak pada lafaz yang diibadati, umpamanya tentang lafaz tasyahud dan qunut.

F.      Syarat–syarat  Periwayatan  Secara Makna

Keabsahan periwayatan hadis bil secara mkna memunculkan kontroversi di kalangan ulama. Abu Bakar ibn al Arabi (w. 573 H/1148) berpendapat bahwa selain sahabat Rasulullah SAW tidak diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna.
Lebih jauh, Abu Bakar mengemukakan alasan yang mendukung pendapatnya tersebut. Pertama, sahabat memiliki pengetahuan bahasa Arab yang tinggi dan kedua, sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan Nabi SAW.
Namun, pendapat yang populer di kalangan ulama hadis menyatakan selain sahabat diperkenankan meriwayatkan hadis secara makna dengan beberapa ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu :
1.      Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan matan hadis akan terhindar dari kekeliruan.
2.      Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa misalnya karena lupa susunan secara lafaz atau harfiah.
3.      Yang diriwayatkan dengan makna bukan merupakan bentuk bacaan bacaan yang sifatnya ta’abbudi, seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta bukan yang berbentuk jawami al kalim.
4.      Periwayat hadis secara makna atau mengalami keraguan akan susunan matan hadis yang diriwayatkannya agar menambah kata اوكما قالatau او نحو هداatau yang semakna dengannya setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan.
5.      Kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadis secara resmi. Sesudah masa pembukuan (kodifikasi) hadis, periwayatan hadis harus secara lafaz.

Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang di wurud-kan Rasulullah SAW, dibolehkan meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW.
Shubhi Ismail menyebut empat syarat yang harus dipenuhi periwayatan dengan makna adalah pertama, perawi hadis itu betul-betul seorang yang alim mengenai ilmu nahwu, sharaf dan ilmu bahasa Arab; kedua, perawi itu harus mengenal dengan baik segala madlul lafaz dan maksud-maksudnya; ketiga, perawi itu harus betul-betul mengetahui hal-hal yang berbeda di antara lafaz-lafaz tersebut; dan keempat, perawi itu harus mempunyai kemampuan menyampaikan hadis dengan penyampaian yang benar dan jauh dari kesalahan atau kekeliruan.
Di samping empat syarat tersebut Abu Rayyah menambah satu syarat lagi, yaitu tidak boleh penambahan atau pengurangan di dalam terjemahan (penyampaian hadis dengan makna) terserbut. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak boleh meriwayatkan hadis bil ma’na, tetapi boleh meriwayatkan bi al-lafzh.

PENGERTIAN RIWAYAT BI AL-LAFZH WA BI AL MA’NA.
Sebelum terhimpun dalam kitab-kitab hadis, hadis Nabi terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayatul hadis atau al-riwayah, yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan.[19][3] kata al-riwayah adalah masdar dari kata kerja rawa dan dapat berarti al-naql (penukilan), al-zikr (penyebutan), al-fatl (pemintalan) dan al-istoqa’ (pemberian minum sampai puas).[20][4] Sementara sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat.
Sementara secara istilah ilmu hadis, menurut M. Syuhudi Ismail yang dimaksud dengan al-riwayah adalah “Kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.[21][5] Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat, tetapi dia tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain, maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. Sekiranya orang tersebut menyampaiakan hadis yang diterimanya kepada orang lain, tetapi ketika menyampaikan hadis itu tidak menyebutkan rangkaian para periwayatnya, maka orang tersebut juga tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis.
Menurut Muhammad Ajjaj Al-Khatib dalam Ushul Hadits ulumuhu wa Mustalahuhu menegaskan bahwa periwayatan hadis adalah menyampaikan atau meriwayatkan suatu hadis kepada orang lain.
Dari definisi di atas, dapat ditarik beberapa point penting yang harus ada dalam periwayatan hadis Nabi, yaitu;
(1). orang yang melakukan periwayatan hadis yang kemudian dikenal         dengan ar-rawiy (periwayat), seperti Bukhari, Muslim.
(2). apa yang diriwayatkan (al-marwiy), keseluruhan hadis yang         diriwayatkan
(3). susunan rangkaian para periwayat (sanad/isnad), sejak mulai dari             periwayat pertama yang menerima langsung dari nabi hingga periwayat terakhir.
(4). kalimat yang disebutkan sesudah sanad yang kemudian dikenal dengan matan.
 (5). kegiatan yang berkenaan dengan proses penerimaan dan penyampaian hadis (at-tahamul wa ada al- Hadis).
Berdasarkan definisi yang diuraikan diatas maka secara spesifik pengertian periwayatan hadits secara lafas dan makna selanjutnya akan dibahas dalam sub bagian dibawah ini.
1.      Pengertian Riwayat Bi Al-Lafzh.
riwayat bi al-lafzh dimaksudkan adalah periwayatan hadist dengan menggunakan lafadz sebagaimana Rasulullah SAW tanpa ada penukaran kata, penambahan dan pengurangan sedikitpun walaupun hanya satu kata. riwayat bi al-lafzh  sering juga disebut dengan periwayatan secara lafzhi[22][6].  Munzier Suparta memberikan terminologi  periwayatan lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya sama persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW dan hanya bisa dilakukan apabila di hafal benar apa yang disabdakan Rasul SAW.[23][7]
Dari beberapa pengertian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa pengertian  tentang   riwayat bi al-lafzh yaitu redaki suatu hadits yang diriwayatkan  tersebut sama persis seperti yang disampaikan rasulullah.
4.                                                          contoh hadis yang diriwayatkan dengan lafaz (riwayat bi al-lafz)
                                                                         - Riwayat Abu Daud

حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة حدثنا أبو خالد وأبن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترق


“ Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Saibah, menceritakan kepada kami Abu Khalid dan Ibnu Numair dari al-Ajlah dari Abu Ishaq dari al-Bara’, ia berkata Rasulullah SAW. bersabda : Tidaklah dua orang muslim bertemu lalu berjabat tangan kecuali Allah akan memberi ampunan kepada keduanya sebelum mereka berpisah” (HR. Abu Daud)

- Riwayat Ahmad

حدثنا أبن نمير أخبرنا الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
- Riwayat Ibnu Majah

حدثنا أبو بكر بن ابي شيبة حدثنا أبو خالد الأحمر و عبدالله بن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
- Riwayat al-Tirmidhi

حدثنا سفيان بن وكيع و أسحق بن منصور قال حدثنا عبدالله بن نمير عن الأجلح عن أبي اسحق عن البراء بن عازيب قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ما من مسلمين يلتقيان فيتصافحان الّا غفر لهما قبل أن يفترقا
Dari lima buah hadis tersebut, bisa dilihat sahabat Rasulullah yang menjadi perawi pertama untuk seluruh sanad hadis tersebut adalah al-Barra’bin ‘Azib. Nama-nama perawi dalam sanad hadis tersebut adalah orang yang sama pada tingkatan (tabaqat) pertama sampai dengan ketiga, yaitu :
1. Al-Barra bin ‘Azib
2. Abu Ishaq
3. ‘Ajlah bin ‘Abdullah
               Akan tetapi terdapat perbedaan perawi pada tingkatan keempat , yaitu:
1. Ibnu Numair
2. Abu Khalid
               Pada tingkatan selanjutnya juga terjadi perbedaan. Imam Ahmad langsung sebagai mukharrij, sedangkan imam Ibnu Majah, Abu Daud dan al-Timidhi masih memiliki rangkaian rawi, yaitu :
1. Sufyan bin Waqi’
2. Ishaq bin Mansur
3. Abu Bakar
               Kelima hadis di atas dapat dikategorikan ke dalam hadis-hadis yang diriwayatkan secara lafal, karena kelimanya tidak memiliki perbedaan secara harfiyah.[24][8]

2. Pengertian Riwayat Bi Al-Ma’na.
riwayat bi al-ma’na yaitu meriwayatkan hadist dengan lafadz yang disusun perawi sendiri sesuai dengan makna yang dicakup oleh ucapan, perbuatan dan takrir ataupun sifat Nabi.  riwayat bi al-ma’na merupakan sebuah proses periwayatan dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan yang didengar dari Rasul SAW namun dengan substansi makna yang tetap sesuai dengan maksud yang disampaikan oleh Rasul SAW. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Munzier Suparta bahwa riwayat bi al-ma’na adalah periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksud oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan sedikitpun.[25][9]
Dari ilustrasi tersebut maka kata kunci terminologi riwayat bi al-ma’na adalah proses penyampaian dan penerimaan hadis dengan redaksi yang berbeda akan tetapi tetap pada substansi makna dan maksud yang sama.
C. KONTROVERSI PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG                KEBOLEHAN DAN KETIDAKBOLEHAN RIWAYAT BI AL-MA’NA.
  1. Pendapat Yang Membolehkan, Alasan Dan Syarat-Syaratnya.
Hampir semua ulama hadis memperbolehkan riwayat bi al-ma’na, mereka beralasan bahwa hadits itu tidak hanya berupa ucapan, tetapi terkadang berupa tingkah laku nabi. Dalam mendeskripsikan tingkah laku nabi yang disaksikan oleh para sahabat, boleh jadi akan muncul redaksi yang berbeda kendati maksudnya sama. Bahkan, karena kemampuan daya tangkap masing-masing sahabat berbeda, maka boleh jadi kesimpulannya juga berbeda. Abdullah ibn Sulaiman al-laits menyampaikan keterbatasan kemampuannya menerima hadits secara utuh. Artinya ia mengaku tidak mampu menangkap hadits persis seperti apa yang didengarnya. Hurufnya terkadang bertambah, terkadang juga berkurang.[26][10] Disamping itu, adanya larangan dari nabi untuk tidak menuliskan selain alqur’an juga menyebabkan riwayat bi al-ma’na, Karena tidak semua ingatan sahabat kuat sehingga hanya berupa makna dari hadis tersebut yang disampaikan.
 Abu Bakar ibn al Arabi (w. 573 H/1148) berpendapat bahwa  selain sahabat  Rasulullah SAW tidak diperkenankan  meriwayatkan hadis secara makna. Lebih jauh,  Abu Bakar  mengemukakan alasan  yang mendukung pendapatnya tersebut. Pertama, sahabat  memiliki  pengetahuan  bahasa Arab yang tinggi dan kedua, sahabat menyaksikan langsung keadaan perbuatan  Nabi SAW.[27][11]
Para sahabat lainnya berpendapat bahwa dalam keadaan  darurat karena tidak hafal  persis seperti  yang di wurud-kan Rasulullah SAW, dibolehkan meriwayatkan hadis secara maknawi (riwayat bi al-ma’na). Periwayatan  maknawi  artinya periwayatan  hadis  yang matannya  tidak sama  dengan yang didengarnya  dari Rasulullah SAW, tetapi isi atau maknanya tetap terjaga  secara utuh  sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW.[28][12]
Dari beberapa alasan para sahabat dan ulama hadis diatas, penulis simpulkan bahwa alasan para sahabat dan ulama hadis membolehkan riwayat bi al-ma’na adalah:
                a. Adanya hadis-hadis yang memang tidak mungkin diriwayatkan secara lafaz, karena tidak adanya redaksi langsung dari nabi Muhammad SAW, seperti hadis fi’liyah, hadis taqririyah, hadis mauquf dan hadis maqthu’. Periwayatan hadis-hadis tersebut adalah secara makna dengan menggunakan redaksi perawi sendiri.
               b. Adanya larangan nabi untuk menuliskan selain Alquran. Larangan ini membuat sahabat harus menghilangkan tulisan-tulisan hadis. Di samping larangan, ada pemberitahuan dari nabi tentang kebolehan menulis hadis
               c. Sifat dasar manusia yang pelupa dan senang kepada kemudahan, menyampaikan sesuatu yang dipahami lebih mudah dari pada mengingat susunan kata-katanya.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang perawi hadis dalam meriwayatkan hadis secara makna (riwayat bi al-ma’na) adalah:
1). Memiliki pengetahuan bahasa Arab. Dengan demikian periwayatan matan hadis akan     terhindar  dari  kekeliruan.
       2). Periwayatan dengan makna  dilakukan bila sangat  terpaksa misalnya  karena lupa susunan secara lafaz atau harfiah.
       3). Yang diriwayatkan dengan makna  bukan merupakan  bentuk bacaan bacaan yang sifatnya ta’abbudi, seperti zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta  bukan pula merupakan ajaran yang prinsipil (jawami’ al-kalim)
      4). Periwayat  hadis secara makna atau mengalami  keraguan  akan susunan matan  hadis  yang diriwayatkannya agar menambah  kata    او كما قا ل   atau  او نحو هذا  atau yang semakna dengannya setelah menyatakan  matan hadis  yang bersangkutan.
       5).Kebolehan riwayat bi al-ma’na   hanya terbatas  pada masa sebelum  dibukukannya  hadis secara resmi. Sesudah  masa  pembukuan (kodifikasi) hadis, periwayatan hadis harus secara lafaz.[29][13]
Adapaun yang membolehkan riwayat bi al-ma’na   memberikan persyaratan khusus, yaitu :
1).Para perawi harus mengetahui secara baik kosa kata bahasa Arab sehingga  dapat membedakan mana lafazh yang mendukung makna hadis yang diriwayatkan dan mana yang tidak, dan bahkan dapat membedakan secara cermat diantar lafazh-lafazh yang hampir sama dalalahnya.
               Abu Bakar ibn al-‘Arabi (w. 54411) sebagaimana dikutip Shubhi al-Shalih, menambahkan persyaratan, bahwa yang dibolehkan meriwayatkan hadis dengan makna tersebut hanyalah para sahabat, sedangkan selain sahabat dilarang meriwayatkan hadis bi al-makna tersebut. Di boleh meriwayatkan hadis dengan makna karena di menguasai bahasa Arab dengan baik, baik fashahah maupun balaghahnya, selain itu di juga menyaksikan langsung ucapan, perbuatan dan taqrir nabi sehingga dengan demikian di sangat paham maksud ucapan, perbuatan, dan takrir nabi tersebut. [30][14]
2). perawi benar-benar lupa lafazh-nya dan ingat maknanya sedang dia harus menyampaikan hukum yang dikandungnya.[31][15] Alasan yang di kemukakan untuk membolehkan periwayatan hadis bi al-makna adalah hadis yang diriwayatkan al-Thabrani dari Sulaiman ibn Uyaimah al-Laits yang bertanya kepada Rosulullah Saw. “Saya apabila mendengar hadis darimu ya Rasul, tidak sanggup menyampaikannya sebagaimana yang saya dengar darimu, bertambah satu huruf atau berkurang, Rasul menjawab: “Selama kamu tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, tidak masalah kamu menyampaikan maknanya”
3). lafazh hadis itu bukan lafazh yang bernilai ibadah seperti adzan, iqamah, tasyahud dan lain-lain, dan bukan pula merupakan ajaran yang prinsipil (jawami’ al-Kalim).
4). memang dimugkinkan untuk mengganti lafazh dengan padanannya (sinonim) yang tidak akan membawa perbedaan pengertian dari maksud lafazh semula.[32][16]
            Dari uraian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa periwayatan hadis secara makna memiliki persyaratan yang ketat sehingga tidak jauh dari substansi hadis yang dimaksud.
2.      Pendapat yang melarang dan alasannya.
Sebagian sahabat melarang riwayat bi al-ma’na seperti: Umar bin Al-khattab, Abdullah bin Umar bin al-Khattab dan Zaid bin Arqam.[33][17]  
sebagian ahli hadis, ahli fiqh, dan ahli ushul mengharuskan para rawi meriwayatkan hadis dengan lafalnya yang didengar, tidak boleh dia meriwayatkan dengan maknanya sekali-kali. Demikian juga yang dinukilkan oleh Ibnush Shalah dan An Nawawi, Ibnu Sirien, Tsailab, dan Abu Bakar Ar Razi. mereka berpendapat bahwa perawi-perawi harus meriwayatkan persis sebagai lafadz yang ia dengar.
Mereka yang menolak periwayatan hadits bi al ma’na beralasan bahwa, riwayat bil ma’na dapat merubah makna hadits. Sebab perawi berusaha mencari lafazh-lafazh yang semakna dengan lafazh hadits, sedangkan makna lafazh-lafazh itu dapat berbeda-beda. Mungkin saja perawi lupa akan sebagian makna yang samar serta terkadang menambah redaksi matan dan terjerumus pada kesalahan. Alasan mereka adalah :
a)      Perkataan nabi mengandung fashohah dan balagah yang tinggi, dan hadits-haditsnya merupakan ajaran yang bersumber dari wahyu Allah.
b)      Nabi pernah mengkritik sahabat yang mengganti lafal hadits.
Pendapat mereka diperkuat dengan mengajukan beberapa faktor sebagai berikut:
a)      Daya hafalan yang sangat kuat.
b)      Pencatatan hadits oleh sebagian sahabat sangat membantu periwayatan secara lafal.
c)      Adanya majlis yang sering digunakan untuk menerima dan meriwayatkan hadits sangat membantu mereka untuk mengishlah bila terjadi kesalahan.[34][18]

C. SEBAB-SEBAB KEBERVARIASIAN RIWAYAT.
            Sebab-sebab kebervariasian riwayat adalah sebagai berikut, di antaranya: 1. Berbilang/bermacam-macamnya kejadian
            Berbeda-bedanya redaksi dalam satu hadits bukanlah suatu aib/cela dalam sebuah hadits apabila maknanya satu, karena telah shahih riwayat dari Nabi SAW bahwa apabila beliau berbicara beliau mengulang-ulang tiga kali. Maka masing-masing orang (Sahabat) yang mendengar hadits itu menyampaikan kepada orang lain sesuai dengan apa yang dia dengar. Maka perbedaan dalam riwayat seperti ini tidak melemahkan hadits, apabila maknanya satu.
2. Riwayat dengan makna bukan dengan lafazhnya
            Dan hal ini adalah sebab yang paling sering menjadikan perbedaan riwayat dalam satu hadits. Karena sesungguhnya yang paling penting dalam menyampaikan haidts adalah menyampaikan kandungan dan isinya, adapun lafazh atau redaksinya tidak ta’abudi (membacanya bukanlah ibadah, maksudnya tidak memiliki pahala khusus dengan membacanya), sebagaimana al-Qur’an yang ta’abudi.
            Contohnya adalah hadits:
- Riwayat Imam Muslim
حدثني أبو غسّان المسمعيّ حدثنا عثمن بن عمر حدثنا أبو عامر يعني الخزّاز عن أبي عمران عن عبدالله بن الصّامت الجوني عن أبي ذرّ قال قال لي النبي صلى الله عليه وسلّم لا تحقرنّ من المعروف شيأولو أن تلقي أخاك بوجه طلق
“ Telah menceritakan kepadaku Abu Gassan al-Misma’i, telah menceritakan kepada kami Uthman bin ‘umar, menceritakan kepada kami Abu ‘Amit, meriwayatkan kepada Abu ‘Imran lalu meriwayatkan kepada Abu ‘Amir al-Khazzaz. Pada tingkatan selanjutnya kemudian ada perbedaan, yaitu Rauh yang langsung kepada Imam Ahmad dan Usman bin ‘Umar kemudian Abu Ghassan pada Imam Muslim.
- Jalur riwayat Imam Ahmad

حدثنا اسحق بن عيسى حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن حابر بن عبدالله قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة ومن المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه

حدثنا قتيبه بن سعيد حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن جابر بن عبدالله قال أخيك قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة وانّ المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
- Jalur Riwayat al-Tirmidhi

حدثنا قتيبه بن سعيد حدثنا المنكدر بن محمد بن المنكدر عن أبيه عن جابر بن عبدالله قال قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم كلّ معرف صدقة وانّ المعرف أن تلقى أخاك بوخه طلق وأن تفرغ من دلوك في انائه
وفي الباب عن أبي ذرّ قال أبو عيس هذا حديث صحيح


perbedaan lafazh/redaksi ini sebabnya adalah meriwayatkan hadits dengan makna, karena sesungguhnya perawi hadits ini satu, yaitu: Yahya bin Sa’id dari Muhammad bin Ibrahim at-Taimi dari ‘Alqamah dari ‘Umar radhiyallahu 'anhu. Dan yang diperhatikan di sini adalah bahwa makna yang dipahami dari kalimat-kalimat di atas adalah satu, maka kerusakan apa yang timbul dari banyaknya riwayat yang seperti ini?[35][19]
         supaya para Ulama lebih tenang bahwasanya perawi (orang yang menukil hadits) telah menukil makna shahih (yang benar) dari sebuah hadits, maka mereka tidak menerima hadits yang diriwayatkan dengan makna kecuali dari orang yang paham dengan bahasa Arab, kemudian membandingkan riwayatnya dengan riwayat selainnya dari kalangan perawi yang tsiqah (terpercaya). Maka jelaslah bagi mereka kesalahan dalam menukilnya, seandainya ada.
3. Meringkas hadits
ada seorang perawi yang hafal hadits secara sempuran, akan tetapi dia mencukupkan dengan menyebutkan sepotong dari hadits tersebut pada suatu kesempatan, dan menyebutkannya secara lengkap pada kesempatan yang lain. Contohnya adalah riwayat hadits Abu Hurairah ra tentang kisah lupanya Nabi SAW dua raka’at dalam shalat Dzuhur, dan semuanya (riwayat-riwayat itu) datang dari Abu Hurairah, dan itu adalah satu kisah. Hal itu menunjukkan bahwa perbedaan riwayat-riwayat itu, sebabnya adalah sebagian perawi yang meringkas hadits.
4. Kesalahan
 seorang perawi kadang salah, lalu dia meriwayatkan hadits tidak sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh perawi lain. Dan mungkin untuk mengetahui kesalahan ini adalah dengan saling membandingkan di antara riwayat-riwayat tersebut. Dan itulah yang dilakukan oleh kalangan Ulama di dalam kitab-kitab Sunan dan kitab Takhrij.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah  berkata dalam kitab al-Jawab ash-Shahih (3/39):”Dan akan tetapi ummat ini Allah Subhanahu wa Ta'ala menjaga untuk mereka apa yang Dia turunkan, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

 إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ  (الحجر/9 )
Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami     (pula) yang menjaganya.(QS. Al-Hijr: 9)
Maka apa saja kekeliruan yang ada dalam tafsir al-Quran dan penukilan hadits, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membangkitkan dari kalangan ummat ini orang yang akan menjelaskannya (kekeliruan itu), dan menyebutkan bukti akan kekeliruan pelakunya dan kedustaan para pendustanya. Karena umat ini tidak akan bersepakat di atas kesesatan, dan senantiasa di antara mereka ada sekelompok orang yang berada jelas di atas kebenaran sampai datang hari kiamat, karena mereka adalah ummat terakhir, tidak ada Nabi lagi setelah Nabi mereka, tidak ada kitab lagi setelah kitab Nabi mereka. Dan adalah umat-umat sebelum mereka, apabila mereka mengganti dan merubah (kitab mereka) Allah SWT akan mengutus Nabi-Nya yang menjelaskan kepada mereka, memerintah mereka dan melarang mereka. Dan tidak ada setelah Muhammad SAW Nabi lagi.Allah SWT telah menjamin bahwa Dia akan menjaga apa yang Dia turunkan berupa Dzikir (al-Qur’an dan Hadits). selesai perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Dan Sunnah -sesuai dengan bentuk yang saya sebutkan di awal, yaitu sebagai wahyu dari Allah- menjelaskan (memperinci) kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka di dalam al-Qur’an, dan mengajari mereka hukum-hukum yang mereka butuhkan dalan Agama mereka. Dan seandainya perinciannya atau asalnya ada dalam al-Qur’an, maka kita katakan bahwa Sunnah dalam bentuk yang seperti ini adalah kekhususan Nubuwah, dan ini adalah salah satu tugas dari Nabi SAW. Maka manusia senantiasa memandang Sunnah dalam bentuk seperti ini, dengan apa yang terkandung dalam kitab-kitab Hadits, atau riwayat-riwayat secara lisan berupa perbedaan sebagian lafazh (redaksi). Dan hal tersebut tidak membuat mereka (kaum muslimin) ragu terhadap kedudukannya, atau mereka merasa pusing dalam menghafalnya, atau ragu-ragu terhadap kehujahaanya (kedudukannya sebagai dalil), atau membuat mereka ragu terhadap kebutuhan manusia terhadapnya.[36][
Juli 28

PERIWAYATAN HADIS DENGAN LAFAL DAN MAKNA
Upik Khoirul Abidin

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Membicarakan  sejarah periwayatan hadis tidak dapat dipisahkan dengan sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadis, hal ini disebabkan adanya perbedaan pendapat para ulama dalam penyusunan memperiodesasi pertumbuhan dan perkembangan hadis. Ada yang membagi menjadi tiga periode, yakni masa Rasulullah SAW., sahabat dan tabi’in, masa pen-tadwin-an atau sesudahnya. Dengan adanya periodeisasi ini menandakan bahwa ada perbedaan masa antara perawi satu dengan  perawi lainnya, sehingga dapat menyebabkan perbedaan lafaz hadis yang diterimanya meskipun secara maknanya sama.

Hal ini menyebabkan ada kemungkinan besar perbedaan pula dalam meriwayatkan hadis. Dari berbagai literatur terbukti telah dijelaskan ada dua cara dalam meriwayatkan hadis, yakni periwayatan hadis dengan lafal dan periwayatan hadis dengan makna. Beberapa ulama berpendapat bahwa mayoritas sahabat sangat mengutamakan periwayatan dengan jalan lafal karena cara ini sangat menjaga kwalitas matan hadis. Dilain sisi ada beberapa ulama yang tidak mengaharuskan periwayatan dengan lafal, artinya mereka membolehkan periwayatan hadis dengan cara lain (makna) asalkan periwayat melakukannya denga hati-hati dan tidak merusak dari subtansi matannya.
Namun demikian,di kalangan ulama muncul berbagai perbedaan tentang periwayatan hadis dengan makna. Bagi mereka yang menerimanya berpendapat bahwa jika hadis tidak mungkin diriwayatkan dengan lafal, maka boleh diriwayatkan dengan makna. Bagi yang menolaknya berpendapat bahwa periwayatan hadis dengan makna dikawatirkan akan merusak kwalitas matannya, sebab tidak menutup kemungkinan bagi periwayat terbatasi kemampuannya untuk memahami hadis dari apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah.
Lebih jauh untuk memahami periwayatan hadis dengan lafal dan makna serta pro kontra periwayatan hadis dengan makna akan dijelaskan pada pembahasan di bawah ini (bab II) dan juga beberapa contohnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Periwayatan Hadis Dengan Lafal dan Makna
a.       Periwayatan Lafzhi
Periwayatan hadis lafdhi merupakan periwayatan hadis yang lafalnya atau matannya sama seperti yang diwurudkan oleh Rasulullah SAW.[1] Namun hal ini hanya dapat  dilakukan jika mereka (periwayat hadis) benar-benar menghafal hadis yang disabdakan Rasulullah dan kuwat daya ingatannya.
Mayoritas para sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar dalam  meriwayatkan hadis benar-benar sesuai dengan yang disampaikan oleh Rasulullah, bukan menurut redaksi mereka. Hal ini dilakukan agar kwalitas matannya terjaga. Bahkan, menurut Ajjaj Al-Khatib, seluruh sahabat menginginkan periwayatan hadis harus melalui jalan ini (periwayatan lafzdi)[2].
Begitu pentingnya priwayatan hadis dengan lafal, umar bin khaththab pernah berkata : “Barang siapa yang mendengar hadis dari rasulullah SAW. Kemudian ia meriwayatkannya sesuai yang ia dengar, maka ia akan selamat.” Ini menjadi bukti bahwa periwayatan hadis dengan lafal sangat diutamakan dalam periwayatan hadis. Ibnu Umar merupakan salah satu sahabat yang sangat menuntut periwayatan hadis dengan lafal, ia sering sekali menegur sahabat yang membacakan hadis yang berbeda dengan yang didengarnya dari Rasulullah meskipun secara subtansial makna matannya sama. Seperti yang dilakukannya terhadap Ubaid bin Amir, suatu ketika ia menyebutkan hadis tentang lima prinsip dasar Islam dengan meletakkan puasa Ramadhan pada urutan ketiga, Ibnu Umar langsung menegurnya dengan menyuruhnya agar puasa Ramadhan diletakkan pada urutan keempat sebagaimana yang ia dengar dari Rasulullah.[3]

b.      Periwayatan Maknawi
Sebagian ulama berpendapat bahwa periwayatan hadis tidak hanya dengan lafal, ada yang membolehkan periwayatan hadis dengan makna, yang artinya periwayata hadis yang matannya tidak sama dengan yang didengarnya dari Rasulullah, tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksudkaan oleh Rasulullah.[4] Tidak sama dengan Al Qur’an[5] yang tidak boleh diriwayatkan dengan makna. Hadis  merupakan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau.[6] Sehingga dengan demikian periwayatan hadis dengan makna diperbolehkan dengan ketentuan apabila tidak mungkin meriwayatkannya dengan lafaz dan orang yang meriwayatkan itu mengetahui apa yang ditunjuk oleh lafaz Nabi dan bahasanya.
Golongan yang membolehkan ini beralasan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Sulaiman yang mengatakan ia bertanya kepada Rasul, yang artinya: “Hai Rasulullah, sesungguhnya saya mendengar hadis darimu tetapi saya tak sanggup meriwayatkannya menurut apa yang saya dengaryang bisa menambah atau menguranginya barang sehuruf. Maka nabi bersabda : Apabila engkau tidak sampai menghalalkan yang haram dan tidak sampai  mengharamkan yang halal serta maknanya tepat, maka hal itu taka pa-apa.” [7]
Meskipun demikian, para sahabat sangat berhati-hati dalam melaksanakannya. Ibnu Mas’ud misalanya, ketika ia meriwayatkan hadis, ia menggunakan term-term tertentu untuk mengutkan penukilannya, seperti dengan kata qala rasulullah Shallahu alaihi wasallam hakadza (rasulullah SAW. Telah bersabda begini) atau qala Rasulullah shallallahu alaihi wasallam qariban min hadza.[8]
Dalam perkembangannya periwayatan hadis dengan makna mengakibatkan munculnya hadis-hadis yang redaksinya antar satu hadis dengan hadis lainnya berbeda-beda, meskipun makssudnya dan maknanya tetap sama. Hal ini sangat bergantung kepada para sahabat atau generasi berikutnya yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut. Sehingga hal ini menimbulkan pro kontra diantara para ulama.
B.     Pro Kontra Periwayatan Hadis Dengan Makna
Sejarah mencatat bahwa periwayatan hadis dengan makna telah terjadi secara besar-besaran, namun ada perbedaan pendapat mengenai konsekuensi-kosekuensi riwayah seperti ini bagi literature hadis. Yang menjadi persoalannya adalah apakah periwayatan hadis dengan makna telah menyebabkan terjadinya kerusakan pada hadis, dan  juga pada Islam atau tidak?. Sebab hadis menjadi sandaran hukum dalam Islam setelah Al-Qur’an. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya pro kontra diantara ulama terhadap periwayatan hadis dengan makna.
Rasyid Ridha[9], ia sangat menentang sikap yang menerima begitu saja sebagian riwayat yang isinya terkesan aneh bagi dirinya. Salah satu argumennya untuk tidak mudah menerima sebagian hadis ini di dasarkan pada kekawatirannya terhadap riwayah bil-ma’na, karena menurutnya kebanyakan perawi hanya meriwayatkat hadis-hadis yang mereka pahami saja, dan terkadang pemahamannya ternyata tidak memadahi.[10]
Sedangkan menurut pendapat Abu Rayyah, riwayah bil-ma’na menyebabkan hilangnya literature hadis yang tak mungkin diperoleh lagi. Ia menegaskan lagi bahwa sangat salah jika beranggapan kalau para perawi adalah kelompok eksklusif terkemuka yang tidak mungkin mengubah sepatah katapun, menambahi sedikitpun, bahkan lupa terhadap matan hadis yang sesuai didengarnya dari Rasulullah. Ia mencontohkan hadis yang berkaitan tentang tasyahhud, menurutnya ada delapan hadis berbeda yang menyangkut masalah tasyahhud diajarkat oleh Nabi kepada delapan sabahat, diantara sahabat tersebut adalah Umar, Abdullah bin Mas’ud, Ibn ‘Abbas, dan ‘Aisyah. Namun yang dianggap paling otoritatif adalah versi Abdullah bin Mas’ud yang berbunyi : “Dengan tanganku di tangannya, Rasul Allah mengajarkan kepadaku tasyahhud, ketika Rasul mengajarkanku surat-surat Al-Qur’an: at-tahiyatu lillah wash-shalatu wath-thayyibat -as-salamu ‘alaika ayyuhan-nabi wa-rahmat Allah wa-barakatuh -as-salamu ‘alaina wa-‘ala ‘ibada Allah ash-shalihin -asy-hadu an la ilaha illa Allah -wa-asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa-rasuluh”[11].
 Mengenahi tasyahhud ini menerut Abu Rayyah semua versi memiliki perbedaan untuk baris-baris pertama tasyahhud, yakni sebelum kata asyhadu. Ia menyatakan, fakta bahwa bagian pokok shalat ini sedemikian terdistorsi, seharusnya permasalahan tasyahhud ini tidak mengalami perbedaan sampai sekarang, sebab hal ini telah dipraktikkan terus-menerus oleh kaum muslim dari dulu hingga sekarang. Namun dengan adanya riwayah bil-ma’na inilah yang menyebabkan adanya perbedaan versi tasyahhud.
Pendapat Abu Rayyah ini telah dibantah oleh Hamzah[12], menurutnya Abu Rayyah tidak memperhatikan konsep tanawwu’ al-‘ibadah  (konsep keanekaragaman ibadah) yang dimasukkan ke dalam Islam oleh Ibn Taimiyyah. Konsep ini memperlihatkan kearifan yang menjadikan landasan semua peraturan Sang pemberi hukum. Misalnya, seseorang bebas memilih dari tujuh cara membaca Al-Qur’an (al-qira’ah as-sab) yang menurutnya paling mudah atau ia senangi. Begitu pula dengan tasyahhud, tidak dipermasalahkan perbedaan bacaan tasyahhud selama syahadah-nya (kesaksian bahwa Allah itu Esa dan Muhammad itu Nabi-Nya) tetap terjaga, sebab Rasulullah-pun telah mengajarkan banyak bacaan yang berbeda, namun secara subtansial hanya mengandung satu makna (syahadah)[13]. Ia membenarkan pendapat Abu Rayyah bahwa membaca tasyahhud merupakan praktik yang senantiasa dilakukan kaum muslimin, namun menurutnya hal itu tidak diucapkannya dengan keras, dari sinilah setiap orang boleh memilih bacaannya sendiri.
Selain Abu Rayyah, diantara ulama yang menolak riwayah bil-ma’na ialah Ibnu Sirin, Abu Bakar al-Razi[14], secara garis besar ulama-ulama berpendapat bahwa riwayah bil-ma’na jurtru akan merusak maksud dari matan hadis dan juga seorang perawi bukanlah sekelompok eksklusif yang tidak menutup kemungkinan mengurangi atau menanmbahi, lupa, lemah ingatanya dalam meriwayatkan hadis. Sedangkan ulama yang membolahkan seperti Ibnu Mas’ud, boleh apabila dalam keadaan darurat karena tidak hafal persis seperti yang diwurutkan Rasulullah, dan harus dengan hati-hati. Sebagian ulama yang lain adalah ulama salaf, ulama khalaf di bidang hadis, fiqh dan ushul fiqh seperti imam empat dengan ketentuanya:pertama, bahwa seorang perawi harus memiliki pengetahuan bahasa arab secara mendalam. Kedua, seorang perawi harus mengetahui perubahan makna bila terjadi perubahan lafal.     
C.     Contoh Periwayatan Hadis Dengan Lafal Dan  Makna
Contoh hadis riwayah bil-lafzhi
من كذب علي متعمدا فليتبوء مقعده من ا لنار
Hadis ini menurut Al-Imam abu Bakar As-Sairi telah diriwayatkan secara marfu’ oleh lebih dari enam puluh sahabat. Tetapi menurut sebagia ahli huffaz, hadis ini diriwayatkan enam puluh dua sahabat. Sedangkan menurut sebagian ulama menyatakan dua ratus sahabat yang telah meriwaytakan hadis ini. Berbeda dengan pendapat Abu Al-Qasim Ibnu Manduh yang mengatakan delapan puluh lebih periwayat hadis ini. Ini artinya dari beberapa pendapat yang ada, dapa tkita simpulkan bahwa hadis ini telah disepakati sebagai hadis riwayah bil-lafzhi. Meskipun jumlah periwayatnya sangat banyak, namun telah diketahui tidak ada perbedaan periwayatan lafalnya.[15]

نزل ا لقران على سبعة اْ حرف
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Turmidzi. Dan juga dua puluh tujuh sahabat yang lain tanpa mengalami pergeseran lafal sedikitpun.[16]
Contoh hadis riwayah bil-ma’na
فعن عو ف بن ما لك ر ضي ا لله عنه قا ل قا ل ر سو ل ا لله صلى ا لله عليه و سلم : "ا  فتر قت ا ليهو د على احد ى و سبعين فر قة فو ا حد ة في ا لجنة و سبعو ن في ا لنار, وافتر قت النصارى على ثنتين وسبعين فرقةفاحدى وسبعين فرقة في الناروواحدةفي الجنة, والذي نفس محمدبيده لتفترقن امتي على ثلاث وسبعين فرقة, واحدةفي الجنةواثنتان وسبعون في النار" قيل:يارسوالله,من هم؟قال:"الجماعة"[17] (رواه ابن ماجه)[18]
عن عبد الله بن عمرو: "ا  فتر قت ا ليهو د على احد ى و سبعين فر قة فو ا حد ة في ا لجنة و سبعو ن في ا لنار, وافتر قت النصارى على ثنتين وسبعين فرقةفاحدى وسبعين فرقة في الناروواحدةفي الجنة, والذي نفس محمدبيده لتفترقن امتي على ثلاث وسبعين فرقة, واحدةفي الجنةواثنتان وسبعون في النار". قلوا: ومن هي يارسول الله؟ قا ل: "ما انا عليه واصحابي"[19]. (رواه الترمذي)[20]


























































1 komentar: